Page 28 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 28
Aip menerima jas itu dengan tangan gemetar. “Makasih, Sep. Kamu selalu perhatian banget.”
Asep menatap Aip dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih
besar dari sekadar kata-kata. “Aip, aku cuma pengen pastiin kamu nggak perlu susah-susah buat
hal kecil kayak gini. Aku pengen kamu tahu kalau aku ada buat kamu, meskipun jaraknya jauh.”
Aip menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Aku tahu, Sep. Tapi aku takut… setelah ini, kita
nggak bakal sering ketemu lagi.”
Asep menghela napas panjang, lalu mengangkat dagu Aip dengan lembut agar mereka bisa saling
bertatapan. “Aku juga takut, Aip. Tapi aku mau kita sama-sama kuat. Aku janji bakal pulang
secepat yang aku bisa.”
“Tapi berapa lama, Sep?” tanya Aip dengan suara bergetar. “Aku takut jarak bikin semuanya
berubah.”
Asep menggenggam tangan Aip erat. “Nggak ada yang bakal berubah. Kamu adalah satu-satunya
yang bikin aku pengen pulang. Sejauh apa pun aku pergi, hati aku tetap di sini, sama kamu.”
Air mata mulai jatuh di pipi Aip. “Aku bakal nunggu, Sep. Tapi jangan lama-lama, ya?”
Asep menarik Aip ke dalam pelukannya. Pelukan itu penuh dengan perasaan yang tak terucap—
kerinduan yang belum terjadi, janji yang diucapkan tanpa kata-kata, dan ketakutan akan
perpisahan yang lebih panjang dari sebelumnya.
“Jangan nangis, ya,” bisik Asep di telinga Aip. “Aku nggak kuat lihat kamu sedih.”
Aip mencoba menguatkan dirinya, meski air matanya terus mengalir. “Aku bakal usahain, Sep.
Kamu juga jangan lupa jaga diri.”
Asep mengangguk dalam pelukan itu. “Aku bakal jaga diri. Kamu juga, ya? Jangan sampai sakit.”
Mereka berdua tetap berpelukan untuk beberapa saat, membiarkan waktu berhenti sejenak di
tengah ketidakpastian masa depan. Perlahan, Asep melepaskan pelukannya dan menatap Aip
dalam-dalam.
“Aku harus pergi sekarang,” kata Asep pelan, suaranya penuh rasa bersalah. “Kalau terlalu
lama, aku nggak bakal bisa ninggalin kamu.”
Aip mengangguk, berusaha tersenyum di antara air mata. “Iya, Sep. Hati-hati, ya.”
Asep berjalan menuju motornya, mengenakan helm sambil beberapa kali menoleh ke arah Aip.
Setiap tatapan itu seperti isyarat perpisahan yang menyakitkan, namun juga penuh harapan.
Sebelum menyalakan mesin, Asep melambaikan tangan dan tersenyum. “Sampai ketemu lagi,
Aip.”
Aip membalas lambaian itu, air matanya jatuh lebih deras. “Sampai ketemu lagi, Sep.”
Motor Asep melaju perlahan, menjauh dari pandangan. Aip berdiri di depan rumahnya, hatinya
terasa kosong. Ketika bayangan Asep benar-benar menghilang di ujung jalan, tangisnya pecah lagi.
Ia memeluk jas itu erat-erat, seolah masih memeluk Asep.
“Aku bakal nunggu, Sep. Sejauh apa pun kamu pergi, aku bakal nunggu.”
Aip berjalan masuk ke rumah, air mata tak henti mengalir. Malam itu, ia tahu bahwa menunggu
akan menjadi bagian dari hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa hatinya akan tetap setia.
---
Malam yang Sunyi dan Penuh Kerinduan
Malam menjelang dengan suasana yang sunyi. Kamar Aip hanya diterangi lampu kecil
di samping tempat tidurnya. Ia berbaring, menatap langit-langit dengan mata yang sembab dan
pikiran yang penuh sesak. Jas milik Asep tergantung di kursi belajarnya, menjadi saksi bisu