Page 192 - Ayah - Andrea Hirata
P. 192

Ayah ~ 179


            lah Lena melahirkan, mereka akan tinggal di rumah itu. Di

            beranda rumah itu Sabari akan menggendong si bayi mungil,
            mengayunnya dalam pelukan. Jika teringat akan hal itu, mes-
            ki tengah malam, dia bergegas ke rumah yang belum jadi itu.
            Dikerjakannya apa pun yang bisa dikerjakannya agar rumah
            itu cepat selesai.

                 Setelah beberapa bulan, rumah kecil itu rampung. Sa-
            bari pindah dari rumah orangtuanya ke rumah itu dan tinggal
            sendiri. Setiap sore dia duduk di beranda rumahnya sambil
            memandangi padang ilalang dan mereka-reka nama anaknya
            yang akan segera lahir.
                 Jika anaknya lelaki, dia sudah punya pilihan nama: Ta-
            bahi, Tekuni, Ta’ati, atau Jujuri. Dicoba-cobanya kepantasan
            nama-nama itu.

                 “Jujuri, siapakah yang menceburkan sepeda Ayah ke da-
            lam sumur?”
                 “Aku, Ayah.”
                 “Oh, tak percuma kau kuberi nama Jujuri, Boi.”
                 Sabari melihat kiri-kanan, kalau-kalau ada orang meli-

            hatnya bicara sendiri.
                 “Tabahi, apakah kau merasa sedih tidak naik kelas?”
                 “Tidak, Ayah.”
                 “Oh, kagum sekali Ayah akan ketabahan hatimu, Boi.”
                 Kalau anaknya perempuan, Sabari sudah pasti dengan
            satu nama saja: Kemasi. Dia ingin anaknya rajin berkemas-
            kemas.
   187   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197