Page 189 - Ayah - Andrea Hirata
P. 189

176 ~ Andrea Hirata


              “Setuju!” teriak Ukun. Perlahan-lahan pengunjung wa-

          rung kopi merapatkan bangku ke arah mereka.
              “Tengoklah, Kawan-Kawan,  nyata-nyata aku dan  Ta-
          mat lebih tampan daripada Sabari, nyata macam matahari
          bulan Juni. Namun, yang dapat istri dia, kami gigit jari, ka-
          rena itu aku tersinggung!” seru Tamat disambut gelak tawa.
              “Dari segi pekerjaan, kami tak kalah,” kata Ukun.
              “Dari segi upah, apalagi!”
              “Apa yang kau bisa dan aku tak bisa, Ri? Apa?!”
              Sabari menunduk.

              “Semua yang kau bisa, aku bisa, dua kali lebih baik da-
          ripada kau!”
              “Semua yang aku bisa, belum tentu kau bisa! Coba kude-
          ngar, apa yang akan kau katakan sekarang?!” bentak Tamat.
              Dipermalukan di muka umum,  Sabari menunduk  se-
          makin dalam. Betapa tega, padahal Ukun dan Tamat ada-
          lah sahabat terdekatnya. Namun, kemudian pelan-pelan dia
          mengangkat wajahnya.
              “Februari sebentar lagi, mungkin  sebaiknya kalian ke
          pantai barat sana, siapa tahu dapat jodoh!”
              Berderai-derailah tawa.
              Subuh keesokannya, seperti dilakukan Sabari  dulu,

          Ukun dan Tamat menenggelamkan diri ke dalam tong berisi
          air dingin dengan membawa jeriken kosong. Mereka mela-
          kukan sesuatu yang tempo hari bertubi-tubi mereka cemooh,
          dan mereka segera timbul dengan bola mata seperti mau me-
          loncat.
   184   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194