Page 185 - Ayah - Andrea Hirata
P. 185

172 ~ Andrea Hirata


          dengar soal cinta sebelah tangan Sabari dan Lena. Maka, me-

          reka tak datang.
              Ukun dan Tamat duduk bersanding di bawah hiasan
          daun-daun kelapa. Sabari tepat di depan mereka, posisi pukul
          12.00. Sulit mereka memahami apa yang terjadi dalam waktu
          yang amat singkat. Berkali-kali mereka mengucek mata dan

          meyakinkan diri bahwa lelaki berwajah berantakan itu adalah
          Sabari, dan perempuan manis bermata indah, berlesung pi-
          pit nan dalam macam sumur di kantor polisi lama itu adalah
          Marlena. Sebuah anomali, enigma, utopia.
              Sabari gagah dalam baju pengantin Melayu tradisional.
          Dia tersenyum terus  seolah  ada  peternakan senyum dalam
          mulutnya. Marlena berbaju pengantin  sederhana saja. Dia
          menunduk, sesekali memandang lurus, kaku, dan dingin, mi-

          rip patung Lenin.
              Ukun dan Tamat telah memberondong Sabari dengan
          bermacam teori, pandangan, saran, kebijakan, petuah, con-
          toh,  dan cemooh  selama bertahun-tahun,  dan semua itu
          patah, patah bingkas jadi dua di pelaminan itu. Mereka me-

          mandang sekeliling dan tiba-tiba merasa gamang, miris lebih
          tepatnya. Hampir tiga puluh tahun usia keduanya, segera ma-
          suk bujang lapuk stadium tiga dalam ukuran orang Melayu
          udik, seorang pun kenalan perempuan mereka tak punya.
              Kian miris keduanya melihat ke arah pukul 5.00, Ibu
          Woeri dan Pak Roeslan Tadjoedin yang duduk berdampingan
          di situ adalah guru SMA mereka dulu. Mereka memutuskan
   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190