Page 23 - Sejarah Pemikiran Islam
P. 23

Muhammad, al the beginning of his prophetical vocation, certainly regarding
                     himself al sent to ‘his next of kin’, to the city of Mecca and those around it.
                     However he did not approach them al a tribe, he did not preach to them al
                     a people. From the outset he addresses ‘man’, the individual ‘soul’, and never
                     tires to emphasize that neither a brother nor father and mother or wife and
                     children are able to do a thing for a man when he stands before his eternal
                     Judge.

                     Awal tugas kenabiannya, sudah barang tentu Muhammad menganggap
                     dirinya diutus kepada  kerabat  dekatnya, kepada  kota Mekah  dan
                     penduduk  di sekitarnya. Kendatipun demikian, ia tidak mendekati
                     mereka sebagai sebuah suku, dia tidak mendakwah mereka sebagai
                     sebuah  bangsa  (tertentu).  Sejak  awal  ia menyeru  kepada  ‘manusia,’
                     sebuah ‘pribadi,’ dan tidak pernah lelah menekankan bahwa tidak ada
                     seorang pun, apakah saudara, bapak dan ibu atau istri dan anak-anak,
                     mampu melakukan sesuatu bagi seseorang ketika berhadapan dengan
                     Pengadilan terakhirnya. 37

                     Di sini, kita  bisa melihat terjadinya  reorganisasi sosial-politik yang
                 mendalam  di Jazirah Arabia dalam  kurun  yang  kita  diskusikan  ini, yang
                 kemudian  memantul  balik  pada  struktur kesadaran  kolektif  masyarakat

                 Islam.  Pertama, yang  menjadi dasar  spiritualnya,  adalah konsep  otonomi
                 individual yang berimplikasi pada  munculnya tanggung  jawab pribadi  atas
                 seluruh perbuatannya di dunia maupun di akhirat.  Pemberlakuan  konsep
                 ini secara teoritis melemahkan loyalitas kolektif keanggotaan dan hubungan-
                 hubungan  sosial-budaya  dalam  struktur kesukuan.  Kedua,  sebagai  gantinya,
                 tampil sebuah susunan kemasyarakatan baru dalam bentuk chiefdom, di mana
                 struktur hierarki sederhana telah mulai diperlakukan. Didasari oleh ajaran
                 Islam sebagai fondamen akidah, bangunan otoritas chiefdom ini menfasilitasi
                 terbentuknya dua hal paling decisive: organisasi kekuasaan pasca Muhammad
                 yang  lebih kompleks  (al-Khulafa-ur-Rasyidin)  dan  kesatuan kekuatan  militer
                 berkemampuan ekspansi. Ketiga, hasil ekspansi militer tersebut, terutama yang



                 37     Goitein, Studies in Islamic History, hlm. 12.



                                                                Kata Pengantar    xxi
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28