Page 208 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 208

199



        tanya Mutia.
             "Itu rumah kamu. Mungkin ada orang yang ingin men-
        jenguk," jawabku.
             "Tidak, mereka itu tetangga sekltar. Kemarin, mereka
        baru saja  menjenguk Ibuku, atau  mungkin Ibu ....  Pak,
        kenapa Ibu tidak mau bangun?" tanya Mutia gelisah kepada
        seorang Bapak di sebelahnya.
             "Ibumu ... akan bertemu ayahmu, Mutia. Ibumu me-
        ninggai, Nak." jawab Bapak itu.
             "Tidaaak! Tidak mungkin. Ibu... Ibu ... jangan tinggal-
        kan Mutia sendiri, Bu. Ibu, bangun Bu .... Ibu ... Bu ....Ya Tu-
        han, bangunkan Ibukui. Mutia mohon, Tuhan," suara Mutia
        di sela tangis.
              Mutia tidak beranjak dari tempat tidur Ibunya sambil
        tubuhnya memeluk tubuh kaku ibunya.
             Orang-orang yang berkerumun itu satu persatu pergi
        dengan rasa sedih. Aku melihat dengan jeias wajah mereka.
             Tetes air mata membasahi pipiku. Aku hanyut dalam
        kesedihan. Aku teringat atas kematian Ibuku, Bu Cahya. la
        yang merangkul aku sewaktu ia mau pergi, bukan aku. Se-
        dangkan Mutia... Ia yang memeluk ibunya dengan rasa yang
        amat sayang dan rela. Bagaimana dengan aku?
             "Sekarang Mutia sendiri Kak," kata Mutia sedih, "Mutia
        takut. Mutia tidak punya siapa-siapa lagi," lanjutnya.
             "Tidak, kamu salah, Mutia masih punya Kakak. Mutia
        ikut saja dengan Kakak, ya. Mau?" hiburku.
             Mutia hanya diam membisu memandangi batu nisan.
             "Ibu, selamat jalan, semoga Ibu bertemu ayah di alam
       Sana," katanya lirih.
             Hari itu juga sepulan^ dari pemakaman, aku memper-
        kenaikan Mutia kepada Ayah dan ibu. Aku ceritakan semua
        yang teiab terjadi.
             "Biar Mutia jadi adik angkat Disna," pintaku.
             Ayah darr Ibu sangat setuju,, bahkan Mutia disekotah-
   203   204   205   206   207   208   209   210