Page 206 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 206
197
dan kamu Ibu titipkan ke Tante Fatimah, Ibumu yang seka-
rang." Bu Cahya mengungkapkan itu sambil menangis.
"Bohong!" tanggapku.
"Benar. Itu semua benar, Nak/' jawab Bu Cahya lemah.
"Anakku, Disna, sebelum semua ini berakhir Ibu ingin me-
minta sesuatu padamu," pinta Bu Cahya. "Ibu ingin engkau
memanggiiku Ibu."
"Tidak! Jangan berharap aku memanggilmu Ibu!" ja-
wabku marah. Aku keluar dari kamar itu. Belum sampai aku
ke teras terdengar suara rintahan Bu Cahya
Nak, ampuni Ibu. Ibu tahu, Ibu salah," rintih Bu Cahya.
Tubuhnya rebah ke lantai. Kulihat matanya menahan sakit.
"Nak, kemarilah," lanjutnya sambil berusaha mendekati aku.
Bu Cahya memegang kakiku sekuatnya. "Nak, Ibu mohon,
ampuni Ibu," pintanya berharap.
"Kabulkan permintaan terakhirnya, Disna," saran Ayah.
"Panggil dia Ibu," lanjut Ayah, aku tak menjawab.
"Disna, toiong Ibu kamu," perintah Ibu marah menyu-
ruhku memangku Bu Cahya.
Ibu memegang dan menarik tanganku hingga akan me-
mandang wajah Bu Cahya dengan dekat.
"Nak, ampuni Ibu. Panggiliah aku Ibu. Sekaii saja Nak,"
pintanya lagi.
Suasana hening.
"Disna, Ibu mohon ...."
Belum sempat kalimat itu dilanjutkan, mata Bu Cahya
tertutup.
la meninggal dalam pangkuanku. Belum sempat aku
mengabulkan permintaannya, ia telah meninggal. Ibu dan
Ayah menangis. Sepertinya hatiku membatu. Aku tak mena-
ngisv Setetes air mataku tak ke luar sewaktu Bu Cahya di-
makamkan. Aku merasa-maslh menyimpan dendam kepada-
nya. Entah itu dendam apa, tapi yang pasti aku tidak suka
terhadapdirlBu Cahya.

