Page 207 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 207

198



                Beberapa bulan kemudian, aku bertemu seorang anak
           di jalan. Wajahnya luSuh. Aku tanyai anak itu.
                "Kok, duduk di jalan, DIk?" anak Itu tidak menjawab
           malah menatapku aneh.
                "Tidak usah takut, Kakak di sini cuma mau iewat aja,"
           ianjutku menghiburnya.
                Sepertinya usahaku berhasil. Anak itu membuka mulut
           kecilnya.
                "Siapa Kakak?" anak itu bertanya.
                "Oh, namaku Kak Disna. Kalau Adik?" kataku baiik ber
           tanya.
                "Mutia," jawab anak itu singkat.
                "Nama yang bagus. Mutia belum menjawab pertanyaan
           Kakak tadi," kataku iembut.
                "Cari uang Kak," jawabnya poios.
                "Lho? Memang orang tuamu di mana?" tanyaku pena-
          saran.
                "Ayah sudah meninggai. Kaiau Ibu iagi sakit. Saya ti
           dak punya saudara," jawab anak itu sedih.
                "Oh, maaf aku menyesal telah bertanya."
                "Sebentar, ya Kak," Mutia membuyarkan lamunanku.
                Aku melihat dia meminta uang kepada pengemudi mo-
           bil-mobil mewah yang terkena iampu merah.
                "Dapat berapa?" tanyaku.
                "Lima ribu." Itu pun dari pagi sampai sore begini," ja
           wab Mutia. "Kak, Mutia puiang duiu ya," lanjutnya.
                "Kakak antar, ya? Sekalian meiihat Ibu kamu. Mungkin
           Kakak bisa bantu," tawarku.
                Mutia cuma mengangguk. Aku mengikuti langkah anak
           itu. Aku memang mudah akrab dengan siapa saja, kecuaii
           Bu Cahya.
                Kulihat kerumunan orang di saiah satu rumah yang
           berdinding bambu itu.
                "Lho, ada apa Kak? Di rumah Mutia  banyak orang,"
   202   203   204   205   206   207   208   209   210