Page 100 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 100
panggilannya. Dia pikir, dia akan aman. Akan tetapi ibu Oncon, Bedah, sudah lama
menjanda dan usianya hanya dua tiga tahun lebih tua dari Juki.
Kata orang, setiap laki-laki yang pernah berulang kawin, tidak sulit mengulangnya
berkali-kali. Juki laki-laki yang seperti itu. Apalagi jauh di pedalaman yang tidak
diketahui berapa lama lagi dia harus mengungsi. Lewat sebulan tinggal di rumah Ibu
Oncon, maka kawin lagilah dia.
Kawin dengan perempuan yang sudah lama menjanda, Juki dimanjakan benar. Dia
dibelikan dua stel pakaian dalam dan piyama yang berbeda warnanya. Sepasang sandal
kulit model kepala buaya serta sarung pelikat dan baju model gaya Betawi yang putih
berterawang. Semua serba baru. Dengan itulah Juki dibungkus keseharian kemanapun
dia pergi di desa pengungsian itu. Sedangkan pakaian yang dibawanya dari kota tak
pernah dikenakannya lagi. Karena dia tidak tahu dimana disimpan istrinya. Namun Juki
maklum akan siasat istrinya, bahwa dia tidak akan dilepas perempuan itu mengungsi
lagi bila musuh datang menduduki desa itu. Karena bagaimana mungkin seseorang ikut
bergerilya terus dengan mengenakan piyama. Tidak lucu, pikirnya.
"Kawin di daerah gerilya, tergantung pada kefaedahan. Lebih dari itu tergantung pada
nyali." kata Juki pada Si Dali ketika mereka ketemu.
"Konyol kamu." kata Si Dali.
"Kau pikir enak jika menumpang di rumah orang tanpa memberi apapun? Enak, ya
memang enak. Tapi hatiku ini yang merasa tidak enak. Tidak ada jalan lain, Si Janda
dapat suami, aku dapat makan. Impaslah." kata Juki seperti seenak perutnya.
"Jika desa ini diduduki musuh pula, bagaimana kau?"
"Daripada ditangkap dan dipenjarakan musuh, ya, biarlah ditangkap janda lagi. Apa
salahnya? Halal." jawab Juki.
Jawaban itu menyeruduk nilai moral dalam perut Si Dali. Karena beberapa hari
sebelumnya dia memprotes sobatnya, Mayor Ancok, yang membiarkan anak-buah
memperkosa perempuan di desa itu. Ancok menjawab santai: "Perang menempatkan
prajurit tidak punya pilihan lain daripada membunuh atau terbunuh. Maka itu
pertistiwa perkosaan, perampokan dan penyiksaan tidak berarti apa-apa dibanding
dengan kematian demi tanah air. Dimana-mana pun begitu. Perempuan bahkan
dijadikan sama dengan barang rampasan. Dan apa salahnya bila anak buahku hanya
memakai, bukan merampas perempuan itu."
"Perang ini, perang orang sebangsa, Ancok." tangkis Si Dali yang pada prinsipnya tidak
menerima perlakuan durjana tentera terhadap penduduk. Karena menurutnya, jika
tentera itu tidak ganas, tapi memperlakukan penduduk sebagai bangsa yang disantuni,
perang itu akan selesai sebelum banyak korban berjatuhan.
"Wah, bacalah sejarah. Di zaman Nabi pun ketika orang Arab berperang antara
sesamanya sudah begitu. Simaklah sejarah masa itu." kata Ancok.

