Page 17 - Cikal Cerita rakyat dari DIY
P. 17
“Elang? Kenapa elang yang terbang bebas di langit?”
“Elang-elang yang menghuni hutan di pinggir desa itu tampaknya
tidak pernah gelisah seperti diriku. Pada waktunya ia ingin terbang, maka
terbanglah elang itu.”
“Elang itu punya sayap dan mata yang tajam. Ia tahu di mana
makanannya berada,” Ki Redi menimpali perumpamaan yang disampaikan
kakaknya, Ki Mangli.
“Kau benar. Walaupun elang-elang itu tidak bisa bicara seperti kita,
tetapi ia tanpa ragu akan bersuara dengan keras di antara awan-awan di
langit.”
“Kelebihan elang, walaupun mungkin ia juga punya rasa gelisah, tetapi
ia punya caranya sendiri mengungkapkannya. Mungkinkah kakak saat ini
gelisah? Ingin mengungkapkannya?”
Seperti ada peluang yang tepat, Ki Mangli pun kemudian mengungkapkan
kegelisahan hatinya, “Aku ingin mengepakkan sayap seperti elang. Ingin
terbang bersama keluarga dan teman-temanku.”
Mendengar penuturan Ki Mangli seperti itu, Ki Redi terkesiap.
Wajahnya menunjukkan kalau ia tidak pernah membayangkan akan keluar
kata-kata seperti itu dari mulut kakaknya. Ia menyadari bahwa kakaknya
adalah seorang yang dapat diandalkan di dusun yang ia pimpin. Keandalan
kakaknya dalam memimpin seni gamelan dan tari tledhek membuat orang-
orang di Dusun Hargamulya tenteram. Aura seni yang hidup di dusunnya
membantu orang-orang dusun untuk mau bertahan tinggal. Akan tetapi,
kemarau panjang kali ini telah membuat ketenteraman itu seperti mulai
terkikis.
“Apa jadinya, kalau Kakak pergi dari sini? Apakah dusun ini tidak akan
mati?”
“Itulah yang membuat aku gelisah. Akan tetapi, aku percaya
kegelisahanku ini pasti tidak akan terjadi. Demikian juga kepergianku tidak
akan membuat dusun tercinta ini mati. Kau dapat merawatnya.”
12