Page 24 - Cikal Cerita rakyat dari DIY
P. 24
Semakin dalam berbincang dengan Ki Mangli, utusan dari Kadipaten
Calapar itu semakin kagum. Ia tidak menyangka kalau dari daerah perbukitan
Menoreh yang sunyi itu muncul seorang yang cerdas.
“Tidak kusangka sama sekali, kalau seorang seniman seperti dirimu
punya wawasan yang dalam tentang tata krama, Ki. Aku kagum denganmu,”
puji utusan itu.
“Apa yang dapat dikagumi dari kami. Tidak ada harta dan pangkat
yang dapat kami tunjukkan. Kami hanya orang yang mendapat tugas dari
leluhur kami untuk menjaga tari tledhek. Walau leluhur kami sudah puluhan
tahun tiada, tetapi sepertinya mereka masih bersama dengan kami.”
Utusan dari Kadipaten Calapar itu tampak tercekam mulutnya
mendengar kalimat-kalimat indah yang muncul dari tuturan Ki Mangli. Ia
menjadi teringat dengan cerita-cerita lama. Menurut cerita itu, pada zaman
Jawa dahulu, di perbukitan dan gunung-gununglah tempat bersemayamnya
pusat-pusat pendidikan. Dahulu, para empu dan pujangga tinggal di
perbukitan dan gunung-gunung yang sepi untuk mendirikan padhepokan
untuk belajar para siswa. Barangkali, salah satunya, yang masih terwarisi
oleh gaya pendidikan padhepokan itu adalah Ki Mangli.
Beberapa waktu kemudian, rombongan Ki Mangli sudah duduk
berhadapan dengan Gusti Adipati Prasangkara di Kadipaten Calapar. Ki
Mangli dan rombongannya menghaturkan sembah hormat.
“Tidak perlu engkau takut, Ki Mangli dan rombonganmu,” kata Gusti
Adipati Prasangkara di ruang pendopo Kadipaten.
Mendengar sapaan dari penguasa Kadipaten Calapar itu, Ki Mangli
dan rombongannya mereda kegundahan hatinya. Hingga penghadapan itu,
mereka belum tahu apa sesungguhnya maksud Gusti Adipati Prasangkara.
“Aku mendengar dari utusanku yang sudah menemuimu beberapa hari
lewat, bahwa engkau adalah seorang seniman yang punya budi bahasa dan
bertata krama yang baik.”
19