Page 26 - Cikal Cerita rakyat dari DIY
P. 26
“Sudah beberapa waktu lamanya, anakku menderita sakit. Tubuhnya
semakin kurus karena tidak lagi memiliki nafsu makan. Tidak jelas sakitnya.
Sudah beberapa juru sembuh kudatangkan, tetapi belum dapat disembuhkan
juga. Aku menjadi seperti ikut sakit. Ia satu-satunya anak perempuan yang
kubanggakan.”
“Apa yang dikeluhkannya, Gusti?” tanya Ki Mangli memberanikan diri.
“Ia seringkali mengatakan bahwa dalam mimpinya melihat dua kuntum
bunga indah di atas batu. Warnanya indah. Namun, kedua bunga di atas
batu itu tidak diketahui tempatnya. Oleh karena itulah, semua orang menjadi
bingung. Kami semua tidak tahu nama bunga itu dan berada di gunung
mana. Maka menarilah untuk anakku itu. Siapa tahu ia terhibur dan akhirnya
mendapatkan kesembuhannya.”
Mendengar tuturan Gusti Adipati Prasangkara, Ki Mangli dan
rombongannya ikut menjadi bingung. Mereka membayangkan, nama
rombongan tari tledhek yang sudah menanjak di tengah masyarakat luas akan
hancur jika tidak dapat membantu memberikan kesembuhan. Masyarakat
pasti akan mengolok-olok dan meninggalkannya. Itu sama artinya dengan
berhentinya mata pencarian mereka. Akan tetapi, sebuah permohonan yang
tulus jika disertai dengan harapan yang luhur pasti akan dikabulkan oleh
Tuhan Yang Mahaagung.
“Baiklah, Gusti. Kami bersedia. Bagaimana Sekargunung dan Sriyanti?”
Kedua primadona remaja penari tledhek dari Hargamulya itu hanya
dapat mengangguk. Kedua remaja itu masih tampak kurang percaya diri pada
saat itu. Namun, mereka bertekad menari sebaik mungkin di depan puteri
Gusti Adipati Prasangkara.
Rombongan tari pengembara itu pun diberikan tempat untuk
beristirahat dengan baik. Mereka dipersilakan beristirahat selama beberapa
hari.
“Supaya kalian dapat menunjukkan kesenianmu dengan baik.
Kuharapkan pada Malam Rabu Legi, satu hari lagi, kalian semua sudah dapat
tampil di pendopo ini,” kata Gusti Adipati Prasangkara.
21