Page 25 - Cikal Cerita rakyat dari DIY
P. 25
Mendengar penuturan dan pujian itu, Ki Mangli dan para pengikutnya
seperti tersipu malu. Mereka belum pernah mendapat pujian setinggi itu,
kecuali dari utusan yang kemarin menemuinya dan Gusti Adipati Prasangkara.
Ki Mangli hanya diam membisu.
“Apakah perkataanku salah, Mangli?”
Tergagap Ki Mangli menjawab pertanyaan itu, “Tidak ada yang salah.
Hambalah yang tidak tahu diri. Kami mohon maaf, Gusti.”
“Kerendahan hatimu memang seelok lembah-lembah yang bertebaran
di Bukit Menoreh, Mangli.”
“Terima kasih, Gusti,” kata Mangli sambil memberikan sembah hormat.
“Ketahuilah, Ki Mangli. Aku ingin meminta pertolonganmu.”
“Minta tolong kepada hamba? Semoga hamba tidak salah mendengar,
Gusti.”
“Kamu tidak salah mendengar. Aku ingin Sekargunung dan Sriyanti
mau menari untuk anakku, Sekar Pandan, yang sedang sakit.”
“Akan tetapi, Gusti....” belum sempat Ki Mangli meneruskan
perkataannya, Gusti Adipati sudah memotongnya lebih dahulu.
“Ya, aku tahu, kau hanya ingin mengatakan bahwa rombongan seniman
penari pengembara seperti dirimu tidak dapat berbuat apa-apa. Begitu?”
“Benar, Gusti.”
“Anakku perempuan, Sekar Pandan, mendengar kabar bahwa
Sekargunung dan Sriyanti sekarang adalah penari pengembara yang cantik.
Tariannya sangat indah dipandang mata. Jika sudah menari, mereka bagaikan
kembang mulai berkembang. Keindahannya seperti tarian para bidadari.”
Ki Mangli dan isterinya tergetar mendengar sanjungan itu. Demikian
pula Sekargunung dan Sriyanti. Sementara Ki Reksaka beserta istrinya
ikut bangga. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapat pujian
berulang-ulang dari seorang adipati.
20