Page 14 - Buku 9
P. 14
sia. Satu pihak mengatakan bahwa desa bukanlah kesatu-
an masyarakat hukum adat, melainkan sebagai struktur
pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain mengatakan
berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum
adat adalah desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong,
marga, kampung, negeri dan lain-lain. Mereka semua telah
ada jauh sebelum NKRI lahir.
Debat yang lain mempertanyakan status dan bentuk
desa. Apakah desa merupakan pemerintahan atau organisa-
si masyarakat? Apakah desa merupakan local self govern-
ment atau self governing community? Prof. Sadu Wasistio-
no mengatakan konsep pemerintahan desa sebenarnya
keliru, yang hanya menjadikan desa sebagai pemerintahan
semu (shadow government). Bahkan Dr. Hanif Nurcholish
mengatakan: pemerintahan desa dalam sistem birokrasi pe-
merintah Indonesia merupakan “unit pemerintahan palsu”.
Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yak-
ni UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, ternyata tidak
mampu menjawab pertanyaan tentang hekakat, makna,
visi, dan kedudukan desa. Meskipun frasa “kesatuan mas-
yarakat hukum” dan adat melekat pada definisi desa, serta
mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa “pemer-
intahan desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih
sangat dominan. Karena itu para pemikir dan pegiat desa
di berbagai kota terus-menerus melakukan kajian, diskusi,
publikasi, dan advokasi terhadap otonomi desa serta men-
dorong kelahiran UU Desa yang jauh lebih baik, kokoh dan
berkelanjutan. Pada saat yang sama, para kepala desa di
IDE, MISI DAN SEMANGAT UU DESA 13