Page 10 - Laporan Kasus Pelanggaran HAM Berat (1) finish
P. 10
Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (1990).
Dalam peristiwa di Pejompongan, tidak ditemukan adanya kondisi yang
membenarkan tindakan ekstrem berupa pengoperasian kendaraan lapis baja
di tengah kerumunan sipil yang tidak bersenjata. Tindakan tersebut tidak
hanya menyalahi standar operasional, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai
pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), yaitu tindakan
aparat negara yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang tanpa melalui
proses hukum yang sah. Dalam Statuta Roma 1998 maupun Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pembunuhan
di luar proses hukum termasuk sebagai pelanggaran HAM berat karena
melanggar hak paling fundamental, yaitu hak untuk hidup.
Kematian Affan Kurniawan menjadi preseden buruk bagi penegakan
hukum dan perlindungan HAM di Indonesia, sebab aparat yang seharusnya
melindungi warga justru menyebabkan kematian warga sipil yang tidak
bersenjata. Kejadian ini memperlihatkan lemahnya mekanisme akuntabilitas
di dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karena penegakan
hukum terhadap pelaku berhenti pada tingkat etik dan disipliner, bukan pada
proses pidana. Hal ini memperkuat pandangan publik bahwa masih terdapat
budaya impunitas, yaitu keadaan di mana pelaku pelanggaran dari kalangan
aparat jarang sekali dijatuhi hukuman yang setimpal. Organisasi-organisasi
seperti KontraS, YLBHI, dan LBH Jakarta menilai bahwa penyelesaian kasus
melalui sidang etik tidak cukup memberikan rasa keadilan, sebab tindakan
aparat dalam kasus ini memenuhi unsur tindak pidana yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang. Mereka juga mendesak agar kasus Affan
Kurniawan diproses melalui mekanisme peradilan umum dan Pengadilan
HAM, bukan hanya melalui sanksi internal kepolisian.
Apabila ditinjau lebih jauh, terdapat beberapa faktor utama yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran ini. Pertama, adanya kelemahan dalam
Standar Operasional Prosedur (SOP) pengendalian massa, terutama terkait
penggunaan kendaraan taktis di area padat warga. Kendaraan seperti rantis
Rimueng memiliki blind spot yang luas sehingga sangat berisiko digunakan
di tengah kerumunan. Seharusnya, penggunaan alat berat semacam ini
dibatasi hanya pada situasi ekstrem di mana terdapat ancaman nyata terhadap
jiwa petugas atau keamanan negara, bukan dalam konteks demonstrasi sipil.
Namun, lemahnya pengawasan dan penerapan SOP membuat risiko fatal
seperti ini dapat terjadi.
Kedua, minimnya pelatihan tentang hak asasi manusia bagi aparat
keamanan, khususnya dalam menghadapi massa aksi atau demonstrasi.
Banyak petugas di lapangan yang tidak memahami prinsip-prinsip dasar
HAM, termasuk larangan penggunaan kekuatan berlebihan dan kewajiban
untuk melindungi keselamatan warga. Akibatnya, pendekatan represif sering

