Page 28 - Filsafat Islam Khansa.indd
P. 28

sudah mempunyai pengalaman yang cukup banyak tentang metode perdebatan
              sehingga ketika menghadapi persoalan teologis atau falsafah, kebiasaan untuk
              mendekatinya dengan metode perdebatan berlangsung begitu saja. 19
                   Sementara itu, dalam bidang teologi, kajian bahasa juga telah mendorong
              para ahli teologi untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya
              kontradiktif dan rumit untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu

              gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat
              kemahakuasaan Tuhan di satu sisi dengan sifat mahatahu-Nya atas segala tindak
              manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya.
              Bagaimana juga menjelaskan secara tepat bahasa-bahasa anthropomorphic
              (menyerupai sifat-sifat manusia) Al-Quran dalam kaitannya dengan keyakinan
              bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia: tidak bertangan, tidak berkaki, dan
                                                                               20
              seterusnya. Begitu juga dengan persoalan-persoalan teologis yang lain.
                   Tuntutan-tuntutan seperti itu semakin kuat setelah umat Islam ikut terlibat
              dalam polemik keagamaan yang terjadi antara umat Nasrani dengan Majusi
              di Damaskus. Saat itu, di Damaskus yang dijadikan ibu kota penguasa Bani
              Umayyah (661–750 M), telah terjadi polemik teologis antara umat Nasrani
              Armenia dan Syria dengan kaum Majusi, terutama mengenai masalah baik dan
              buruk. Dengan datangnya umat Islam berarti ada tiga pihak yang berpolemik

              dalam masalah ini. Menurut Yahya Al-Dimasqi  atau Saint John of Damascus
              (676–749 M) dan pengikutnya yang bernama Theodore Abu Qurrah  (750–823

              M), ada dua persoalan penting yang menjadi perdebatan pada masa itu.
                   Pertama, kebebasan dan keterpaksaan manusia. Ini berkaitan dengan
              rasionalisasi pembalasan amal perbuatan manusia. Jika manusia bebas
              menentukan perbuatannya sendiri maka dapat dipahami jika dia dibalas sesuai
              dengan amal perbuatannya, tetapi bagaimana menjelaskan sifat kemahakuasaan
              Tuhan yang berkuasa untuk menentukan segala sesuatu, termasuk perbuatan
              manusia. Sebaliknya, jika manusia tidak bebas menentukan amal perbuatannya
              sendiri karena adanya kemahakuasaan Tuhan, bagaimana manusia harus
              menerima balasan atas sesuatu yang tidak dilakukan secara sadar dan atas
              kemauannya sendiri.
                   Kedua, Al-Quran, diciptakan atau tidak. Masalah ini berawal dari persoalan
              yang berkaitan dengan keyakinan umat Islam bahwa Al-Quran adalah “kalam”
              19  Louis Gardet , Falsafah al-Fikr al-Dînî... hlm. 71.
              20  Machasin, Perkembangan Teologi dalam Islam (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1997), makalah tidak
                 diterbitkan.


                                                  29
                                                  29

                                                                             pustaka-indo.blogspot.com
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33