Page 146 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 146
Myrna memberitahukan kepada pembaca bahwa dirinya adalah pembawa
cerita di novel ini. Dirinya menggunakan sudut pandang orang pertama melalui
penggunaan kata ‘aku’. Kata aku di sini bertindak sebagai pelaku cerita, yaitu
Myrna. Namun, Myrna yang berada pada posisi sudut pandang orang pertama,
kemudian dalam prolognya menjadi sudut pandang orang ketiga ketika mengihkan
dirinya. Pengarang bertindak sebagai Myrna yang pada prolog berada pada sudut
pandang pertama, namun ketika berkisah memposisikan diri sebagai orang ketiga.
Novel ini juga menggunakan teknik bercerita dalam sebuah cerita.
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini di antaranya
yakni majas satire, asosiasi, hiperbola, simile, sinekdok, simbolik, dan paradoks.
Misalnya Remy Sylado kerap menggunakan pemakaian kata-kata melalui majas
satire dan kritikan terhadap situasi sosial politik yang berlangsung di kala itu.
Termasuk pula pada ungkapan-ungkapan paradox dari pengarangnya, yakni ketika
Remy memberi nilai pada tokoh cerita atau situasi tertentu dengan menggunakan
bahasa-bahasa yang bertentangan dengan nilai moral, tetapi jika kita cermati pada
dasarnya pemikiran-pemikiran Remy adalah sebuah nilai yang mengandung
kebenaran. Tone Remy dalam pemakaian bahasa, terletak pada kata-kata berbahasa
daerah seperti lelipi,slilit, semadyanya, dan lainnya.
Simbol-simbol yang muncul dalam novel Kerudung Merah Kirmizi tertuang
dalam bentuk puisi atau filsafat yang diucapkan para tokoh cerita seperti Myrna,
Dela, Luc, Bapak, Ema, dan Sam. Misalnya Myrna yang mengungkapkan bahwa
dirinya adalah perempuan yang sudah tidak bersuami alias “janda”. Bukanlah
sembarang janda yang dalam pandangannya bahwa status itu kerap kali menuai
stigma negatif dari masyarakat terhadap individunya. Hal tersebut terdapat pada
teks
Sebetulnya aku terganggu oleh sebutan ‘janda’. Sebutan ini mengandung
banyak penafsiran yang terasa merendahkan harkat. Misalnya, mereka yang
duduk di lembaga kerohanian mengartikannya sebagai pihak yang perlu
dipelihara kadar keagamaannya dengan merancang pemberian hadiah-
hadiah pada hari besar agar tetap eling dan saleh (Sylado, 2002, hlm. 1).
140