Page 111 - RBDCNeat
P. 111
keluargaku pun melarangku berangkat mengaji. Setelah hujan
reda, ada teman-teman yang datang ke rumah yang katanya
disuruh oleh guru ngaji untuk menjemputku. Keluargaku pun
tidak bisa berbuat apa-apa selain mengizinkanku berangkat
mengaji. Aku begitu bersemangat mengaji. Kalau boleh
memilih, lebih baik tidak bersekolah daripada tidak mengaji.
Ustadustadnya pun sangat baik kepadaku. Kalau aku bertemu
dengan mereka kepalaku dielus sambil berkata “Neng Din,
43
du’a keun Mama nya.” Kata-kata itulah yang membuatku
merasa diperhatikan dan disayangi oleh guru ngaji seolah
mereka sedang berhadapan dengan anaknya sendiri.
Setiap satu tahun sekali di tempat pengajian diadakan
acara Malam Imtihan yang diisi kreasi seni dari santriwan
dan santriwati dalam rangka memperingati Isra Mi’raj.
Dalam acara itu aku sering diikutsertakan. Walaupun aku
berbeda dengan anak-anak lain, tapi guru ngaji tidak pernah
membeda-bedakanku. Aku disamakan dengan yang lain,
termasuk dalam menampilkan kreasi seni, ternyata aku pun
bisa ikut meramaikannya.
Pada penampilan Malam Iatihan tahun lalu aku tampil
dengan didampingi Mama tercinta. Aku berangkat dari rumah
bersama Mama dan Mama bisa melihat penampilanku di
panggung. Namun, tahun ini aku tampil di panggung tanpa
didampingi oleh siapa pun. Rasanya iri ketika melihat
teman-teman lain datang ke tempat acara itu didampingi
orang tuanya. Bibi berjanji mau menonton penampilanku di
panggung, tapi ternyata tidak kunjung datang juga. Guru ngaji
43
Neng Din, doakan Mama, ya.
Roda Berputar dalam Cahaya | 75