Page 65 - Buku SKI XII MA
P. 65

menjadi  sultan  cirebon  sejak  tahun  1568.  Sayangnya  hanya  dua  tahun  Fatahillah

                     menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
                           Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu  Sunan  Gunung Jati, yaitu

                     pangeran  Emas.  Pangeran  emas  kemudian  bergelar  panembahan  Ratu  I,  dan
                     memerintah  Cirebon  selama  kurang  lebih  79  tahun.  Setelah  panembahan  Ratu  I

                     meninggal  pada  tahun  1649,  pemerintahan  kesultanan  Cirebon  dilanjutkan  oleh

                     cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan
                     Ratu II atau Panembahan Girilaya. Panembahan  Girilaya  adalah  menantu  Sultan

                     Agung  Hanyakrakusuma.  Bersamaan  dengan  meninggalnya  panembahan  Girilaya,
                     Pangeran  Martawijaya  dan  Pangeran  Kartawijaya,  yakni  para  putra  panembahan

                     Girilaya  ditahan  di  Mataram.  Dengan  kematian  panembahan  Girilaya,  terjadilah

                     kekosongan  penguasa.  Panembahan  Girilaya  meninggalkan  Tiga  Putra,  Yaitu
                     Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

                           Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi
                     tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni:

                     a.  Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi
                        Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

                     b.  Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar

                     c.  Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
                     d.  Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan

                        gelar  pangeran  Abdul  Kamil  Muhammad  Nasarudin  atau  Panembahan  Tohpati
                        (1677-1713)

                           Perubahan  gelar  dari  “panembahan”  menjadi  “sultan”  bagi  dua  putra  tertua

                     pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik
                     menjadi  Sultan  Cirebon  di  Ibu  kota  Banten.  Sebagai  Sultan,  mereka  mempunyai

                     wilayah  kekuasaan  penuh,  rakyat,  dan  keraton  masing-masing.  Adapun  Pangeran
                     Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak

                     memiliki  wilayah  kekuasaan  atau  keraton  sendiri,  akan  tetapi  berdiri  sebagai

                     kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
                           Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar,

                     sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu terjadilah
                     pepecahan  karena  salah  seorang  putranya,  yaitu  pangeran  Raja  Kanoman,  ingin

                     memisahkan  diri  membangun  kesultanan  sendiri  dengan  nama  kesultanan
                     Kacirebonan.  Kehendak  Raja  Kanoman  didukung  oleh  pemerintah  belanda  yang






                                                        SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM KELAS XII    53
   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70