Page 59 - Buku Peringatan HUT 55 GKI Beringin & Penahbisan Pendeta
P. 59
yang telah menyakiti saya, kebaikan dan keburukan yang saya lakukan pada orang
lain dan pada diri saya sendiri, pengalaman cinta dan penderitaan – dan masih
banyak lagi” (Palmer 1998:13). Dengan perkataan lain, identitas adalah “titik temu
antara kekuatan dari dalam dan luar yang menjadikan saya siapa saya” (Palmer
1998:13). Seorang guru yang mengenal diri dan identitasnya akan dapat mengajar
dengan keberadaan dirinya, baik kelebihan maupun kelemahannya.
Guru yang mengajar dengan identitasnya menyadari keberadaannya sebagai “Saya”
yang berhadapan dengan murid sebagai “Anda” dalam hubungan “I-Thou,” yaitu
hubungan yang setara antara Saya dan Anda, sebagaimana yang ditekankan oleh
filsuf Martin Buber. I-Thou berlawanan dengan I-it yang memandang orang lain lebih
rendah. Guru dan murid terhubung dalam relasi yang sederajat atau setara, sebagai
I-Thou.
Mengajar dengan integritas adalah mengajar dengan seluruh keberadaan hidupnya.
Palmer mendefinisikan integritas sebagai “keutuhan apa pun yang dapat saya
temukan dalam hubungan itu ketika vektor-vektornya membentuk dan membentuk
kembali pola hidup saya.” (Palmer 1998:13). Integritas berarti memilih hal-hal apa
yang dapat menolongnya menjadi pribadi yang utuh dan hidup.
Sama seperti identitas, integritas juga berkembang setiap saat. Identitas berada
pada persimpangan antara berbagai kekuatan yang membentuk diri seseorang, dan
integritas terletak pada relasi antara berbagai kekuatan yang memberikan keutuhan
dan hidup, bukan keterpecahan dan kematian.
Guru yang mengajar dengan identitas dan integritasnya dapat menginspirasi murid-
murid untuk mengembangkan diri masing-masing. Apapun latar belakang dan
identitas mereka, mereka tetap memiliki kesempatan untuk memilih integritas yang
membawa keutuhan dan kehidupan. Inilah inspirasi yang terkait dengan diri murid.
Mengajar dengan Identitas dan Integritas
Selanjutnya Palmer mempertanyakan: bagaimanakah cara guru mengajar?
Seringkali ada “ketakutan” yang melingkupi baik guru maupun murid, sehingga
masing-masing mau mencari rasa aman. Hal ini dilakukan dengan cara pengajaran
yang satu arah. Guru mengajar dengan cara mengindoktrinasi, murid menerima
secara pasif. Bagi guru cara ini aman karena murid tidak mengajukan pertanyaan
yang sulit atau mendebat. Demikian pula bagi murid cara ini aman karena mereka
hanya menerima secara pasif, tidak perlu berpikir sendiri, apalagi berdebat dengan
guru. Namun tentu saja cara mengajar yang konvensional seperti ini tidak sehat.
Cara mengajar seorang guru yang memiliki spiritualitas adalah mengajak murid
berkumpul di sekitar “kebenaran” melalui pengetahuan yang sedang dipelajari. Ini
berarti guru dan murid bersama-sama mempelajari sesuatu dan membahas serta
menilai secara kritis. Dengan demikian murid dan guru bersama-sama aktif. Jika
ada perbedaan pandangan, ada ruang dan kesempatan untuk membicarakannya
HUT 55 GKI BERINGIN |56