Page 133 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 133
D. Hukum Bertaqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum:
Pertama,Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid
yang dibolehkan.
1. Taqlid yang diharamkan. Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada
tiga macam:
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid
mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan. Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan
usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian
darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih
berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat
pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian
mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk
pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama. Ulama
muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat
kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu
pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan
bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali
dasarpendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa). Syaikhul Islam lbnu Taimiyah
berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakahdibolehkan baginya taqlid? ini
adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalahdibolehkan ketika dia dalam
keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (danpendapat yang berbeda)
sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad ataukarena tidak
nampak dalil baginya”
USHUL FIKIH - KELAS XII 124