Page 65 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 65

Naql(لقنلا) yang artinya memindahkan atau mengalihkan sesuatu, menghubungkan dari
                   suatu keadaan kepada bentuk lain di samping masih tetapnya bentuk semula.

                          Sedangkan  pengertian  nasakh  menurut  istilah  usul  fikih  adalah;  khithab  (titah)

                   yang menunjukkan penghapusan hukum yang ditetapkan oleh khithab (titah) terdahulu,
                   dengan jalan yang seandainya khithab penujuk tersebut tidak ada maka khithab terdahulu

                   masih berlaku, dengan lebih akhirnya khitab yang menghapus. ‘Abd al-Wahhâb Khallaf
                   memberikan  definisi  bahwa  naskh  menurut  para  ushûliyyûn  adalah  “membatalkan

                   pengamalan  satu  hukum  syar’i    dengan  menggunakan  dalil  yang  datang  kemudian”.

                   Pembatalan tersebut bisa terjadi  secara eksplisit  (sharâhatan) atau implisit (dhimnan);
                   pembatalan secara global (ijmâl) atau parsial (juz’iy) sesuai dengan maslahat yang ada.

                   Atau,  naskh  itu  adalah  pemunculan  dalil  yang  datang  kemudian,  yang  secara  implisit
                   membatalkan operasi – atas satu hukum – yang berlaku dengan menggunakan dalil yang

                   lebih dulu (dalîl sâbiq).

                          Sementara  menurut  Abu  Zahrah,  naskh  menurut  para  ushûliyyûn  adalah
                   “pengangkatan sang pembuat hukum (syâri‘) satu hukum syariat dengan menggunakan

                   dalil yang datang belakangan”. Dengan demikian, menurut beliau, tampak beda antara
                   naskh dengan takhshîsh. Naskh terdapat dua nash nâsikh dan mansûkh yang – keduanya

                   – tidak disertai satu zaman, tetapi nâsikh datang belakangan dari yang mansûkh.
                          Pengertian Naskh lain secara sederhana juga dikemukakan oleh Khudhari Biek,

                   dia  memberikan  definisi  bahwa  naskh  adalah  “pengangkatan  sang  pembuat  hukum

                   (syâri‘) atas satu hukum syar’i  dengan menggunakan dalil syar’i ”. Sedangkan dalam
                   bukunya  Târîkh  al-Tasyrî‘al-Islâmî,  secara  panjanglebar  beliau  menyatakan  bahwa

                   naskh  menurut  terminologi  fuqaha’  dimaknai  dengan  dua  pengertian.  Pertama,
                   pembatalan hukum yang diambil dari nash awal (nash sâbiq) dengan menggunakan nash

                   yang  datang  kemudian  (nashlâhiq).  Contohnya  adalah  hadits  yang  berbunyi:  “Kuntu

                   nahaytukum  ‘an  ziyârat  al-qubûr  alâ  fazûrûhâ.”  Nash  pertama  melarang  untuk
                   melakukan  ziarah  kubur,  sedangkan  nash  kedua  mengangkat  (menghapus)  larangan

                   tersebut  lalu  posisinya  digantikan  oleh  pembolehan  (al-ibâhah)  atau  permintaan  (al-
                   thalab) – untuk melakukan ziarah kubur. Kedua, mengangkat keumuman nash awal atau

                   men-taqyîd  (mengikat)  nash  yang  mutlak.  Contohnya  adalah  firman  Allah  s.w.t..  di

                   dalam  Qs.  Al-Baqarah  (2):  228,  “Wa  al-muthallaqâtu  yatarabbashna  bi’anfusihinna
                   tsalâsta  qurû’in.”  Kemudian,  Allah  berfirman  di  dalam  Qs.  Al-Azâb  (33):  49,  “Idzâ






                                                                           USHUL FIKIH  -  KELAS XII 56
   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70