Page 80 - layout terbaru fiks.3 - PDF
P. 80
Tanpa berpikir panjang, aku menyuruhnya masuk namun ibu tidak menjawab dan
tatapannya kosong entah apa yang sebenarnya terjadi. Ashana menangis dan aku berusaha
membuat ibu berbicara, tapi tetap tidak berhasil. Setelah itu, ayah pulang bersama kedua paman
dan sepupuku, mereka sangat terkejut dengan keadaan ibu. Akhirnya ayah menuntun ibu ke
kamar dan menyuruhku tidur menemani Ashana agar ia tenang.
Keesokan harinya, aku terbangun karena mendengar suara jeritan ayah “tolong,
tolong”. Ternyata ibu melakukan percobaan bunuh diri dengan melukai tangannya
menggunakan pisau dan masih dengan pandangan yang kosong. Ayah menangis dan tidak tahu
harus berbuat apa, karena di desa ini tidak ada pemuka agama atau sejenisnya dan mayoritas
warga non islam. Melihat kejadian tersebut, pamanku menyarankan pergi ke salah satu ahli
supranatural disini namun ayahku menolak dan memilih mendoakan sendiri. Ashana menangis
dan meminta ayah agar pulang saja, namun ayah menolak karena kondisi ibu yang tidak stabil
terlalu berbahaya untuk perjalanan jauh.
“piarr..” terdengar bunyi piring-piring berjatuhan saat malam hari, semua penghuni rumah
keluar untuk melihatnya.
“ada apa ini?”, tanya pamanku.
“ihihihi”, suara ibu tertawa.
Mendengar itu, semua terdiam dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan ibu. Lalu ibu jatuh
pingsan, keesokan harinya ibu dinyatakan meninggal dunia dan tidak ada yang tahu
penyebabnya. Aku, Ashana, dan ayah sangat terpukul dengan kejadian yang mendadak dan
menyedihkan ini, terpaksa ibu dimakamkan di desa Banda karena untuk menempuh perjalanan
jauh kurang meyakinkan dan kasihan ibu jika tidak segera dimakamkan.
“berhati-hatilah dan jaga adikmu, nak”, kata seorang kakek tua kepadaku saat di pemakaman
yang tidak kukenal.
Aku terus memikirkan ucapan kakek dalam perjalanan pulang dari pemakaman, saat
tiba dirumah aku melihat ayah marah besar pada saudara-saudaranya dan menanyakan apa
yang ada di desa ini hingga membuat istrinya meninggal.
80