Page 173 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 173
159
akan dilatih lebih khusus sesuai dengan jenis pekerjaan
yang tercantum di kontrak kerja. Bu Puji sempat bercerita
bahwa di kalangan PPTKIS memang ada pengusaha yang
cenderung profit-oriented. Bu Puji malah mengaku bahwa dia
bisa hidup dari para BMI juga. Itu sebabnya secara pribadi,
sebutan TKW atau buruh justru kurang dia sukai. Bu Puji lebih
suka menyebutkan mereka siswi Hong Kong atau Taiwan,
bergantung pada negara yang akan dituju. Setidaknya kode
ROSDA
etik ini yang dia coba terapkan di antara para stafnya.
Dalam film pendek HHN, sosok tokoh Acik menjadi
sorotan film ini. Meski tidak sampai menyelesaikan kontraknya,
gara-gara majikannya dipecat dan tidak mampu lagi membayar
gaji, Acik tetap mempertahankan keinginannya kuliah. Acik
mengingat kembali masa-masa ketika dia selalu merasa minder
bila melihat sosok mahasiswa. Di matanya, mahasiswa adalah
figur yang cerdas. Keinginan ini tersampaikan ketika dia bisa
duduk di bangku kuliah di Fakultas Tarbiyah di salah satu
universitas Islam swasta di Jawa Timur. Sambil kuliah, dia
juga mengajar SD di desanya di Jombang. Status guru di desa
amat dihargai, dan ini memberikannya identitas diri yang
lebih berdaya. “Bila saya jadi TKW lagi, maka selamanya ya
akan tetap jadi TKW. Beda dengan kalau saya kuliah.” Dengan
memperoleh ilmu dari bangku kuliah, Acik melihat masa depan
yang lebih cerah. Dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih
layak, dan tidak perlu menjadi TKW lagi. “Orang jadi TKW itu
kan karena tidak ada lapangan pekerjaan di Indonesia.”
Sebagai sebuah film dokumenter, HHN cukup berhasil
mengajak pemirsanya mengubah persepsi bahwa buruh migran
adalah sosok yang tidak berdaya. Acik sendiri menuturkan
bahwa teman-teman kuliahnya tahu statusnya sebagai mantan