Page 228 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 228
214
masyarakat pun bersanding dengan potret kegiatan gerakan
literasi sekolah. Siswa-siswa berseragam membaca buku
bersama di halaman sekolah, dan kelas-kelas dihias dengan
buku dan bahan kaya teks, juga poster-poster membaca. Duta
literasi bangga berpose mengenakan selempang dan memegang
buku, memamerkan penghargaan untuk rekor tertinggi
membaca buku di perpustakaan sekolah. Guru-guru mengikuti
pelatihan literasi, lomba-lomba apresiasi sastra berganti
ROSDA
nama menjadi lomba literasi. Guru dan siswa ramai-ramai
menerbitkan buku dan berlomba-lomba membaca banyak buku
dalam program tantangan membaca (reading challenge). Singkat
kata, sekolah menggemakan literasi dengan antusias.
Seperti sebuah fashion show yang meriah, sorot lampu
yang menyinari panggung literasi akan redup. Pertanyaannya,
bagaimana membuat degup literasi berdenyut lebih lama?
Jawabannya terkait dengan pertanyaan yang mendasari
penulisan buku ini. Mengapa literasi perlu dikaji sebagai
praktik sosial? Mengapa perlu memahami literasi ideologis dan
membedakannya dari literasi yang otonom?
Dua contoh praktik literasi kaum marginal, yaitu
komunitas buruh migran dan komunitas anak jalanan,
mengingatkan kita bahwa literasi bermakna lebih ketimbang
sekadar kampanye penumbuhan minat baca dan program
tantangan membaca yang didengungkan dengan meriah.
Dalam literasi ideologis, kampanye literasi dan penumbuhan
minat baca seharusnya tidak memaksakan program yang
seragam kepada semua sekolah dan seluruh komunitas
masyarakat. Misalnya, dalam kegiatan 15 menit membaca
setiap hari, keharusan bagi peserta didik untuk membuat