Page 39 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 39
25
yang tidak saya mengerti itu menari-nari dengan indahnya
membentuk cerita yang hidup di benak saya. Saya mencintai
aksara sehingga saya menuliskannya di tembok rumah eyang
saya. Tembok itu merekam perubahan huruf b, k, f, l, dari
bentuk yang tak beraturan, menjadi suku kata, lalu huruf, lalu
kalimat, lalu bait-bait puisi. Dinding yang akhirnya kusam
itu sengaja tak dicat selama beberapa tahun sehingga menjadi
saksi trajektori saya; rekam kisah, celoteh-celoteh yang segera
ROSDA
menjadi tertulis, jejak kelisanan yang bertransformasi menjadi
literasi. Seingat saya, saya cinta membaca dan menulis karena
kemampuannya untuk membebaskan imajinasi. Ketika
membaca majalah Bobo dan Ananda, ide cerita melompat-
lompat dengan liarnya sehingga saya tak sabar ingin
menuliskannya. Koleksi puisi saya memenuhi beberapa buku
tulis bersampul tipis berwarna biru yang disimpan ibu saya
hingga saya dewasa. Ketika berumur sekitar delapan atau
sembilan tahun, saya menulis beberapa cerita, artikel, juga
komik di majalah buatan saya sendiri. Semuanya bertuliskan
tangan. Adik saya—sekarang seorang arsitek—menangani
desain, layout, dan ilustrasinya.
Saya selalu berpikir bahwa kelisanan dan literasi itu
proses transformasi yang linier. Literasi adalah satu fase yang
lebih modern dan berbudaya ketimbang kelisanan. Karena
saya mudah mengungkapkan ide lewat tulisan, saya merasa
dapat mengungkapkan pikiran saya dengan lebih tertata,
logis, dan mudah dipahami. Lebih artikulatif dalam menulis
ketimbang berbicara, bagi saya menulis adalah media untuk
mengekspresikan gagasan secara kreatif. Menulis membuat
saya merasa lebih berarti dan berbudaya.