Page 40 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 40
26
Kenyamanan itu sirna di tahun 2002 ketika saya belajar
membaca dan menulis dari awal lagi. Kepindahan saya ke
Amerika Serikat memaksa saya untuk menggunakan bahasa
Inggris—yang sebelum itu saya pikir saya kuasai dengan
baik—yang tidak seketika memampukan saya berkomunikasi
dan ‘berfungsi’ sebagai warga negara yang berbudaya.
Berinteraksi dengan penutur asli, saya merasa aksen saya aneh,
pilihan kata saya tidak tepat, dan struktur kalimat saya terlalu
ROSDA
kaku. Saya kesulitan membedakan beberapa frasa sederhana
seperti ‘fill in’ atau ‘fill out,’ ‘used to’ atau ‘get used to,’ ‘latter’ atau
‘later.’ Saya khawatir disalahpahami, saya merasa tidak cakap
berkomunikasi. Saya merasa tidak literat.
Perasaan ini hadir karena menjadi literat itu lebih
kompleks dari sekadar memahami simbol tertulis dan
menyampaikan gagasan dengan bahasa yang dipahami oleh
komunitas lokal. Kompleksitas ini mewujud dalam, misalnya,
rasa tertolak ketika seorang kurir pos menolak bolpoinnya yang
saya kembalikan setelah saya gunakan untuk menandatangani
resi pengiriman barang dengan jemari saya yang basah. Pada
kesempatan lain, seorang kasir supermarket berbicara kepada
saya dengan suara keras, intonasi yang tinggi, dan tempo yang
lambat ketika saya menanyakan sebuah pertanyaan sederhana.
Perlakuan yang diberikan kepada kelompok minoritas
yang tidak berbicara dengan bahasa kaum mayoritas, tidak
berperilaku, atau berpikir, atau memahami konsep tentang
kebersihan, keamanan, gaya hidup sehat, memuat diskursus
tentang literasi yang bukan sekadar aksara, namun juga cara
hidup dan berbudaya.