Page 82 - Rencana & Cerita Pendek Lainnya
P. 82
Ia tidak mampu membendung air mata yang mengalir
seketika membasahi wajahnya.
Aku berhenti makan, dan tertunduk diam.
“Kak Sinta nekat naik motor mau ke laboratorium kakak
buat mengingatkan acara kumpul keluarga di peringatan
meninggalnya ayah. Ia kecelakaan, kak. Dan kami
memutuskan tidak memberitahu kakak,” kata Arlin.
Aku hanya diam mendengarnya.
Aku sadar selama ini aku begitu takut untuk pulang ke
rumah, aku takut menghadapi kematian dan kesedihan.
Semua dimulai ketika ayah sering jatuh sakit. Waktu itu
aku berkeras ingin menunda kuliahku agar bisa
meluangkan lebih banyak waktu menemani dan
merawatnya. Ia malah melarangku dan berkata mengejar
mimpi itu lebih penting. Ia ingin aku menjadi astronom
handal, yang meneliti alam semesta dan bergabung
bersama NASA. Saat aku menuruti perkataannya,
sakitnya malah bertambah parah, dan saat itu juga, aku
merasa takut pulang ke rumah.
Aku membayangkan ayah akan marah kalau aku pulang
dan meninggalkan kuliahku, meninggalkan mimpi-
mimpiku, dan aku takut melihat ia menderita dengan
sakitnya. Sejak saat itu, aku tidak pernah pulang.
Aku bangkit dan mendekati ibu yang masih menangis di
pelukan Arlin. Aku memeluk mereka berdua.
“Semuanya akan baik-baik saja,” kataku kepada mereka.
79