Page 124 - Toponim Magelang_Final
P. 124
Toponim Kota Magelang 111
ditumbuhi pohon berjenis kacang-kacangan tersebut. Faktor yang mempengaruhi
banyaknya pohon kemiri di Kampung Kemirirejep, yakni faktor tanahnya sangat subur.
Bukan hanya untuk keperluan memasak, jalinan relasi masyarakat Jawa tempo
dulu dengan kemiri dapat dibuktikan pula dengan lahirnya unen-unen (peribahasa):
“kutuk nggendhong kemiri”. Ungkapan lokal ini mengandung arti ikan kutuk (gabus)
menggendong buah kemiri. Bahwa sebuah sindiran sekaligus nasihat kepada perempuan
yang bepergian jauh namun menggunakan perhiasan cukup banyak. Padahal, jalan yang
ditempuh tidak aman atau berbahaya.
Menurut tuturan masyarakat setempat, di Kampung Kemirikerep punya tokoh
legendaris atau pepunden bernama Mbah Kyai Sapon. Lelaki yang hidup era kolonial
ini merasuk di hati warga karena mampu melindungi kampung dan sebagai paran
poro alias jujugan warga tatkala diterpa masalah. Lantaran memiliki jasa atau peran
di masa lampau, kuburan Kyai Sapon yang terletak di pemakaman RT 07/ RW 03
sebelah Mesjid Al-Huda itu dijadikan tempat ziarah, terlebih pada bulan Ruwah. Dalam
tradisi orang Jawa, bulan Ruwah merupakan momen untuk mendoakan arwah leluhur
secara kolektif sekaligus membersihkan (besik) jaratan atau pemakaman. Tradisi kuno
ini dikerjakan pertengahan sasi Ruwah, yakni bulan ke-8 dalam kalender Jawa atau
bersamaan dengan Sya’bar dalam kalender Hijriah.
Di Kampung Kemirikerep, terdapat bangunan sejarah yang menyimpan kisah historis
perkembangan Kota Magelang, yakni bengung (sirine) dan sarana irigasi (buk kalikota).
Menurut informasi warga, kala itu, bengung difungsikan pemerintah Belanda untuk
memberitahukan kepada mayarakat adanya pesawat tentara Jepang (musuh) yang akan
mendekat atau masuk ke kawasan itu. Dengan bunyi sirine, warga dihimbau segera
masuk rumah dan bersembunyi di lubang bawah tanah yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Hampir setiap rumah punya persembunyian bawah tanah guna berlindung
dari ancaman musuh. Setelah Jepang berhasil menduduki Magelang, bengung dipakai
untuk bersembunyi karena masyarakat meyakini bahwa tentara Jepang hanya ingin
menjarah harta dan benda milik warga.
Sementara itu, buk kalikota merupakan bangunan warisan Belanda yang masih
difungsikan untuk irigasi yang sumbernya mengalir dari Gunung Tidar, alun-alun sampai
Patrobangsan. Masyarakat kontemporer masih memakai sarana itu, meski mengalami
renovasi beberapa kali karena bangunan dicaplok usia. Sarana irigasi dari tengah kota