Page 73 - just duit_Spread
P. 73

tinya berkaitan dengan  "Faktor X"  atau "Faktor Tuhan" yang bersifat
        fatalis,  yakni  adanya  skenario  takdir  yang  menentukan  sejarah  ke-
       hidupan  dari  A  sampai  Z  tanpa  bisa  diganggu-gugat  oleh  individu
        manusia.  Mudahnya:  Jika  'takdir'  seseorang  itu  harus  gagal  atau
        bangkrut  dalam  usahanya,  apa  pun  juga  yang  dilakukannya,  maka
        hasil akhirnya adalah kebangkrutan. Perjuangan yang bagaimanapun
        hebatnya tidak akan mampu membuka atau menciptakan kesempatan,
        sehingga berakhir hidupnya di  kesempitan!?
          Sebaliknya, sekalipun seseorang tidak berjuang—bahkan mungkin
        ada  yang  tidak  berpengharapan  atau  bercita-cita  apa  pun—jika  'na-
        sib'  menentukan  dirinya  menjadi  kaya  dan  atau  terhormat,  maka
        entah  bagaimana,  segala  macam  kesempatan  yang  luar  biasa  dan
        tidak  pernah  sekalipun  terlintas  di  dalam  benaknya  atau  di  sejarah
        keluarganya,  bisa  saja  datang  dan  melimpahi  hidupnya—apakah
        tiba-tiba mendapat harta karun  di halaman  belakang rumahnya,  me-
        menangkan   undian  berhadiah,  mendapat  warisan  dari  sanak  yang
        jauh, atau menikahi (dinikahi) orang kaya terpandang, atau diangkat
        anak atau mantu  oleh pejabat tertentu,  dan  lain  sebagainya.
           Nah,  sebagaimana faktor kesempatan  masih  menjadi  tanda tanya
        besar dalam pikiran saya, demikian juga faktor timbulnya pengharapan
        (atau  cita-cita  atau  keinginan)—apakah  hal  itu  datang  dari  dalam
        diri  individu  dengan  sendirinya,  ataukah  individu  itu  digiring  oleh
        "Faktor X"  sehingga  mengetahui  dan  berinisiatif mempunyai  peng-
        harapan  hidup  tertentu,  misalnya  melalui  pembacaan  buku,  men-
        dengar  pesan  itu  dari  orang  lain  atau  dari  media  massa,  dan  seba-
        gainya?
           Ada  kenyataan  bahwa  sangat  banyak  orang  yang  sama  sekali  be-
        lum  pernah  tahu  apakah  yang  namanya  cita-cita  hidup.  Mereka  hi-
        dup  tapi  tidak  tahu  untuk  apa  mereka  hidup,  mau jadi  apa  di  masa
        depan  kehidupan  mereka,  dan  bagaimana mereka  bisa  mencapai  se-
        mua itu.  Boleh  dibilang,  mereka  sekadar  hidup.  Mereka bangun  ti-
        dur,  melakukan  aktivitas  rutin  (apakah  bekerja  atau  menganggur),
        dan  malam hari tidur lagi,  demikian  terus  dan  seterusnya,  dari  dulu
        sampai  kelak,  tidak  ada  perubahan  perilaku  rhaupun  kualitas  ke-
        hidupan yang berarti,  sampai mereka meninggal dunia,  tamat.
           Kalau  saya  amati,  kehidupan  yang  seperti  itu  hanya  sekadar


                                       57
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78