Page 166 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 166
Selanjutnya, bila merujuk pada definisi reforma agraria
dimana seharusnya reforma agraria dijalankan tidak hanya
berhenti pada redistribusi tanah dan pemberian program
pendukung tetapi juga merujuk pada terjadinya transformasi
masyarakat atau perubahan relasi ekonomi politik yang
berkeadilan (Ladejinsky, 1964; Feder 1965; Wiradi, 2009, White
& Borras, 2014) maka ketujuh implikasi buruk seperti yang
disebutkan di atas membuktikan bahwa reforma agraria yang
terjadi di Cipari bukanlah reforma agraria yang diharapkan oleh
petani maupun dalam konteks reforma agraria yang substantif
(baca: terjadinya transformasi/perubahan relasi di masyarakat).
Ikhtisar
Menurut temuan lapangan setidaknya terdapat tujuh hal
implikasi buruk yang dirasakan oleh petani. Pertama, tidak
terjadi perubahan dalam mengatasi ketimpangan agraria. Kedua,
pembagian lahan tidak diikuti dengan pemberian daya dukung
paska redistribusi dan juga berimpilikasi tidak membuat petani
sejahtera. Ketiga, terjadi reakumulasi tanah. Keempat, tanah yang
telah didapatkan diperjualbelikan. Kelima, adanya ketidakjelasan
antara pemilik sertifikat danlahan garapannya. Keenam, imbas
dari ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan lahan garapan
membuat pemerintahan desa kesulitan untuk memungut
pajak. Ketujuh, secara politik, kasus jual beli lahan ini sangat
berpengaruh pada upaya SeTAM untuk memperjuangkan kasus
tanah lainnya.
Dalam bagian ini terlihat bahwa artikulasi kepentingan petani
yang dilakukan dalam perumusan kebijakan dan implementasi
reforma agraria telah diambil alih oleh pemerintah dari level atas
Implementasi Reforma Agraria 149