Page 162 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 162
Perpres No.36 Th.2005 bertentangan dengan UU”.
Tidak jauh berbeda dengan PBHI, kalangan masyarakat
sipil lain, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat
Petani Indonesia (SPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), dan lainnya, menilai bahwa keberadaan Perpres
ini akan menjadi jalan lapang bagi masuknya kepentingan
pengusaha multinasional dan nasional yang akan merampas hak-
hak masyarakat. Dalam konteks ideologi, keberadaan Perpres ini
dinilai sebagai bagian dari agenda neoliberalisme. Selain Perpres
tersebut, terdapat kebijakan lain yang juga menegaskan bahwa
SBY mempunyai kecenderungan berpihak pada kepentingan
pengusaha besar. Beberapa kebijakan tersebut, di antaranya UU
No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU
18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009
Minerba, dan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Implementasi reforma agraria di Cipari dapat dikatakan
berimplikasi buruk bagi masyarakat. Menurut catatan lapangan,
setidaknya terdapat beberapa hal yang membuat “kemenangan
kecil” yang diraih tidak berimplikasi secara optimal pada
kesejahteraan masyarakat apalagi untuk sampai pada perubahan
relasi sosial di masyarakat. Kondisi tersebut sebetulnya juga
sudah diprediksi oleh SG (SeTAM), MSR (petani penggarap), SRW
(SeTAM), S (pembeli lahan), SLH (SeTAM) yang secara terpisah
mengkhawatirkan terjadinya land market inefisiensi karena jarak
dan kembali adanya keterbatasan lahan akibat dari bagi rata
dalam distribusi lahan, ketidakjelasan kepemilikan lahan (baca:
pemegang sertifikat dengan lahan yang tersedia berbeda orang),
Implementasi Reforma Agraria 145