Page 165 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 165
merumuskan kebijakan. Alih-alih mengakui petani sebagai subyek
utama, pemerintah justru mengambil alih gagasan masyarakat
dan menggantikannya sesuai dengan kehendaknya. Tidak
hanya itu, petani yang mempunyai pengalaman individu yang
membentuk nilai, kepercayaan dan kepeduliannya tergantikan
dengan kepentingan kekuasaan yang mendasarkan pada nilai
yang dianut pemerintah yakni sekedar menjalakan reforma
agraria agar dikatakan sebagai pemerintahan yang populis. Lebih
lanjut, petani tidak diposisikan sebagai pemilik pemerintahan
(owners of government), mereka hanya dipandang sebagai obyek
dari kebijakan. Meskipun secara kasat mata terlihat ada dialog
antara petani dengan kalangan pemerintah namun pada akhirnya
kepentingan pemerintahlah yang lebih banyak digunakan dalam
perumusan kebijakan dan implementasinya. Hal inilah yang
membuat reforma agraria di Cipari berimplikasi buruk bagi
petani.
Hal lain yang juga penting untuk dilakukan adalah
membuka semua ruang (dialog dalam perumusan kebijakan dan
implementasi reforma agraria, pen) yang ada, baik yang tertutup
maupun terbuka (Gaventa, 2006), atau setidaknya ruang-ruang
yang tertutup bisa semakin banyak yang dibuka. Meminjam
pandangan Sujito (2012) tentang pendangkalan politik di era
demokrasi maka pada negara yang mengklaim demokratis (dalam
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan) rakyat harus
menjadi subyek. Sebagai subyek, rakyatlah yang menentukan arah
perubahan, bukan para penguasa yang berwatak oligarki. Hal ini
meneguhkan kembali bahwa penyusunan kebijakan publik bukan
hanya ditentukan oleh negara, tetapi juga oleh semua aktor yang
berhubungan dengan kebijakan tersebut.
148 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono