Page 158 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 158
kandi (baca: karung), paling banyak ya 3 kandi, itu juga belum modalnya.”
(Wawancara, 21/11/2018).
Tentang jual beli lahan, STR (Kades Sidasari) mempunyai
pandangan sebagai berikut:
“.... karena warga masyarakat itu kan kadang-kadang dapet 35 ubin (tapi
letaknya, pen.) jauh gitu. Rata-rata digarapkan pada warga masyarakat
dulu, nanti kalau sudah selesai dioperalihkan hak kepada orang lain. Itu
kehendak warga masyarakat seperti itu. Jadi, kita juga tidak bisa istilahnya
menghalang-halangi. Nah, karena itu kehendak warga masyarakat yang
sebetulnya itu tidak boleh di aturan sertifikat yang sebelum 10 tahun
tidak boleh dialihkan. Wong kadang-kadang saya butuh pada njenengan,
weslah (baca: ya sudah) tanpa koordinasi dengan desa, tahu-tahu sudah
di sampean (tanahnya, pen.). Lah, kita mau menuntut dasarnya apa,
itu seperti itu. Jadi keluh kesahnya disitulah. Tapi kadang-kadang warga
masyarakat itu seperti itu. Karena pembagiannya 35 ubin jauh, lah mending
dijual 5 juta. Uang gratis ini. Kaya gitu, cuma jual namalah.” (Wawancara,
21/11/2018).
Kelima, adanya ketidakjelasan antara pemilik sertifikat dan
lahan garapannya. Hal ini berdampak pada munculnya kembali
konflik antarmasyarakat maupun antara masyarakat dan para
pembeli lahan. Kondisi ini semakin memperkuat sinyalemen
bahwa reforma agraria sebagai jalan untuk penyelesaian konflik
agraria ternyata tidak terjadi di Cipari. Hal ini dikatakan oleh
SRW (SeTAM) yang menyebutkan bahwa banyak orang yang
menerima sertifikat tetapi tidak mempunyai lahannya, atau tidak
bisa mengolah lahannya karena lahan tersebut sudah dikerjakan
orang lain. Ketidakjelasan tentang sertifikat dan tanah yang
dimiliki ternyata juga terjadi pada pembeli lahan berinisial SD.
“...sertifikate kula ming nyekel nek mboten salah sedoso, tapi nggih
mboten matrap, lokasine teng mriki, gambare teng sertifikat padane teng
pojok mriko, teng sebelah mriko, kadus niku hehehe. Jenengane nggih
Implementasi Reforma Agraria 141