Page 115 - Level B1_Isi APa yang lebih seru? SIBI.indd
P. 115

“Ternyata aku ganteng juga,” aku senyum-senyum  “Heh, kucing hitam bawa sial!” dengusku.
 sendiri sembari memandang cermin di hadapanku.
                   “Wah,  wah!  Kok  ngomong  gitu,  sih?”  tiba-tiba  saja
    Kucing!  Eh,  sepatu!  Sudah  pukul  berapa  ini?   Mama sudah ada di belakangku sembari membawa kotak
 Aku berlari keluar kamar seraya memegangi topiku yang   bekalku.
 terasa melayang. Kulihat Papa sudah memanasi mobilnya,
                   “Memang bawa sial, kan? Buktinya sepatuku masih
 alhamdulillah! Hari ini memang aku khusus meminta
               bau pesing,” sahutku sewot.
 tolong Papa untuk mengantarku. Aku tak mungkin naik
 sepeda dengan penampilan seperti ini. Aku harus tetap  Mama terkekeh dan malah menggendong kucing itu.
 ganteng dan keren.    Seperti paham kalau Mama membelanya, kucing itu sengaja
               memejamkan mata dan bersandar di dada Mama.
 “Faben, sarapan dulu!” teriak Mama padaku.
                   “Kalau di Jepang, kucing hitam yang datang
 “Bungkus saja, Ma. Tidak ada waktu lagi,” aku
               mendadak begini artinya pemilik rumah bakal mendapat
 menjawab sembari melirik tajam pada kucing liar yang  pendamping hidup, lo. Cieee, sebentar lagi anak Mama
 tatapanny    meng  sepatuk
               punya gebetan, cieeee!” Mama menggodaku.
 datangnya kucing hitam legam ini, Apa dia pikir sepatu
 hitamku ini musuhnya sampai-sampai dia kencing di situ.   Idih!  Gebetan?  Memangnya  siapa  yang  mau
 Masa dia tidak bisa membedakan mana sepatu dan mana   kugebet? Ada-ada saja mitosnya. Tidak di Indonesia,
 kucing?       tidak di Jepang, semuanya memiliki mitos. Coba, apa
               hubungannya kucing hitam dan mendapat pendamping
               hidup? Tidak masuk akal, kan? Namun, percuma saja
               membantah Mama yang sedang bucin pada si kucing
               hitam. Aku pun berpamitan dan mencium tangan Mama.
                   Drum … drum!     Kami semua bermain dengan
               penuh semangat. Terik matahari yang menyengat tak
               mengendorkan langkah kami yang berirama.
                   Gendhis mengayunkan tongkat dan melemparnya ke
               udara. Hap! Putar, putar, lempar, lempar! Tepuk tangan
               bergemuruh melihat atraksi Gendhis yang menawan.
                   Kami panen pujian. Itu penampilan terbaik kami
               sekaligus yang terakhir. Ya, kami akan naik kelas 9. Anak-




 106  Misteri Drumben Tengah Malam         Bab 14 Lupakan Saja  107
   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120