Page 21 - EBOOK_Renasans Jogja
P. 21

Nasjah Djamin dalam Kanvas



                                      dan dalam Kata-Kata











                                                             Remy Sylado




















                    uan-puan dan Tuan-tuan.        menulis kritik seni rupa merangkap   kutukan dewata, sehingga ia damai    21
                    Demi Nasjah Djamin kita semua   peteater (pemain teater/aktor).    melukis dan damai pula menulis.
              Phadir di sini untuk mengapresiasi
               bakatnya dalam dua ladang seni kreatif.   Pada waktu itu harus dilihat, bahwa   Tampaknya praktik seni di Yogyakarta
               Hari ini kita menjadi apresiator untuk   peta seni kreatif Indonesia ditentukan   kala itu boleh dibilang melawan
               karya-karya lukisannya, dan besok   lewat Yogyakarta, bukan Jakarta. Di   batasan-batasan model Jakarta yang
               kita akan menjadi apresiator untuk   Jakarta malah masih banyak orang   menjadi tawanan pikiran kata kerdil
               karya-karya sastranya. Seyogyanya   memandang bahwa untuk melahirkan    tentang kemestian mengacu spesialisasi
               kita percaya, bahwa bakat seni Nasjah   seni kreatif, haruslah pelakunya   satu saja ladang seni untuk konon
               Djamin, menyangkut seni rupa di satu   memusatkan pikiran untuk memilih   bisa lebih intens memusatkan pikiran
               pihak dan seni kata-kata di lain pihak,   satu saja ladang, supaya dengannya   menjadi wujud yang memuaskan.
               sungguh merupakan anugerah ilahi.   konon seniman dapat intens          Lewat Yogyakarta pada saat itu
                                                   mengejawantahkan dorongan-dorongan   kita melihat cempiang-cempiang
               Dua bakat, antara seni rupa dan seni   estetisnya menjadi wujud kesenian yang   seni yang berpikir cendekia di luar
               sastra itu, setidaknya cukup kuat   kasat mata sekaligus kasatatma.     keterampilannya, seperti yang dulu
               mempengaruhi peseni (seniman) lain di                                   kita kenal dalam sejarah Renaissance
               Yogyakarta pada tahun-tahun 1950-an   Tapi memang lewat Yogyakarta      di Eropa dan zaman Dinasti Tang di
               dimana Nasjah Djamin sudah terbilang   pandangan khas Jakarta itu telah lebih   Cina: bahwa pelukis adalah penyair
               setengah baya dan Motinggo Busye    dulu ditandingi dengan praktik oleh   dan pemusik pula. Di Barat kita kenal
               serta W. S. Rendra masih terbilang   peseni-peseni kreatif – seperti tokoh   nama Leonardo da Vinci, di Cina
               belia. Kala itu Motinggo adalah juga   kita ini, Nasjah Djamin – yang niscaya   kita kenal nama Li Tai Po. Kiranya
               pesastra (sastrawan) yang melukis, dan   menerima dan menghayati bakat   pandangan itu pula yang membuat
               Rendra adalah pesastra (sastrawan) yang   seninya sebagai karunia ilahi dan bukan   Yogyakarta melahirkan para connaiseur




                                                          Edisi 4/2017 | matajendela
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26