Page 100 - Nanos Gigantos Humeris Insidentes
P. 100
dalam” karena untuk penulisannya Sutherland lebih banyak
mengandalkan sumber-sumber kolonial. Untuk mengimbangi
dan melengkapi pandangannya bisa dipergunakan sumber-
sumber lokal yang dari segi teknis lebih mungkin dikuasai oleh
sejarawan pribumi.
Karya berikutnya yang mengupas kehidupan kaum
priyayi jawa adalah Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis
oleh Sartono Kartodirdjo et al., pada tahun 1987. Karya ini
mengungkapkan kehidupan priyayi Jawa. Meskipun diakui
oleh para penulisnya bahwa karya ini ditulis dengan gaya agak
popular, kerangka pemikiran tentang gaya hidup priyayi dan
peradaban priyayi pada umumnya dapat dipakai sebagai acuan
dalam penulisan kehidupan kaum menak karena begitu banyak
persamaan aspek-aspek kehidupan priyayi Jawa dan menak
Sunda. Perbedaan yang jelas antara priyayi Jawa dan priyayi
Sunda, dapat ditemukan antara lain dalam soal pemakaian
gelar. Dalam tradisi Jawa, gelar kepriyayian ngambil pola gelar
kebangsawanan kerajaan, bangsawan tinggi, yaitu keturunan
raja hingga derajat keempat, memiliki gelar raden mas, sedangkan
bangsawan yang lebih rendah hanya memakai gelar raden.
Dalam tradisi sunda, menak luhur dan menak handap memakai
gelar yang sama yaitu raden. Karya ini dapat dikatakan menutupi
kekurangan-kekurangan Palmier dan Sutherland, terutama
dalam soal pemakaian sumber-sumber pribumi, baik berupa
karya sejarah dan karya sastra, maupun karya sastra-sejarah.
Karya berikutnya yang banyak menampilkan data
biografis kaum menak, yaitu Priangan; de Preanger Regentschappen
Onder Het Nederlansch-Bestuur tot 1811 yang ditulis oleh
Fredrick de Haan (1910-1912) dalam empat jilid dengan
ketebalan sekitar 4.000 halaman. Sebagai aspirasi, De Haan
berhasil mengkomplikasikan arsip-arsip Priangan. Hal yang
penting dari karya ini adalah
64