Page 74 - Nanos Gigantos Humeris Insidentes
P. 74
daripada penghasilan yang mereka terima. Di perkebunan inti
sawit, pekerjaan memanen dan menjual hasilnya dianggap
terlalu berat untuk perempuan, meski pada kenyataannya
perempuan melakukan pekerjaan ini di lahan plasma. Karena
pemanenan dan penjualan dilakukan oleh laki-laki, uang hasil
penjualan dipegang, bahkan dikelola, oleh laki-laki.
Uang hasil penjualan tersebut seringkali habis di tangan
laki-laki dengan alasan membayar tenaga pemanen sawit,
padahal sesungguhnya untuk membayar pekerja seks di kafe
yang mulai bermunculan. Selain menimbulkan masalah sosial
dan keluarga, fenomena ini membuat sumber penghidupan
perempuan petani sawit hancur. Perempuan petani sawit harus
bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya
dengan memulung berondol sawit yang jatuh meski harga
jualnya lebih rendah daripada tandan buah segar (TBS). Jika tidak
diambil pemulung, berondol tersebut hanya akan tergeletak
dan membusuk. Hampir seluruh pemulung berondol sawit
adalah perempuan. Polisi memperlakukan pemulung berondol
sawit sebagai pencuri yang melanggar teritori perusahaan dan
mengambil properti. Perempuan diintimidasi, dilecehkan dan
diancam. Ada dua perempuan yang pernah diproses secara
hukum karena memulung berondol sawit. Meskipun demikian,
karena keterdesakan hidup, perempuan tetap memulung
berondol sawit, terutama secara berkelompok.
Keterdesakan hidup semakin menghimpit karena
perubahan hubungan masyarakat dengan pertanian dan
lingkungan. Kelapa sawit ditanam secara monokultur di lahan.
Luas lahan pertanian campur berkurang. Kebutuhan terhadap
sayur tidak bisa dipenuhi dari lahan sendiri. Hutan rusak oleh
perkebunan, sehingga tidak ada makanan yang bisa diambil dari
hutan dari tidak ada bahan baku untuk membuat kerajinan rotan
38