Page 71 - Nanos Gigantos Humeris Insidentes
P. 71
Pembukaan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak
yang berbeda-beda bagi masyarakat lokal. Dalam penelitian
ini, Julia dan White menyoroti dampak yang dirasakan
perempuan Dayak Hibun di Dusun Anbera, Desa Dabat,
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagai gambaran
awal, sebagian besar perempuan Dayak Hibun putus sekolah
setelah menyelesaikan SD. Usia pernikahan rata-rata berkisar
antara 13- 20 tahun. Dewan Adat Hibun mengampu urusan
adat masyarakat Hibun.
Sebelum perkebunan kelapa sawit dibuka, masyarakat
menanam karet, beras, serta ladang campuran. Lahan adat terdiri
dari tiga jenis, yakni lahan kolektif (poyotono), lahan milik klan
atau satu keturunan keluarga (poyotiant), dan lahan individual
dari warisan. Perempuan Dayak Hibun berhak mendapatkan
warisan tanah sama seperti laki-laki. Mereka mendapat hak
mengakses tanah komunal adat dan hutan, sama seperti laki-
laki. Hanya saja, perempuan tidak terlibat dalam struktur formal
kepemimpinan adat.
Ketika perusahaan hendak membuka perkebunan sawit,
perusahaan mendekati pemimpin formal maupun informal,
yang terdiri dari pemimpin adat, pemimpin masyarakat lokal,
guru, pemimpin keagamaan, dan lain-lain. Perempuan Dayak
Hibun Dusun Anbera tidak ikut terlibat dalam pengambilan
keputusan pembukaan perkebunan sawit, sebab semua
pemimpin tersebut berjenis kelamin laki-laki. Para pemimpin
ini ditugasi untuk memberi tahu warga lain, termasuk para
perempuan. Mereka mendapatkan bayaran untuk melakukan
tugas tersebut, juga untuk mendaftar sebanyak mungkin petani
kecil ke dalam skema inti-plasma. Di kemudian hari, mereka
bersama dengan kepala desa, anggota kepolisian dan militer,
direkrut sebagai Satuan Pelaksana (Satlak) perusahaan yang
digaji tiap bulan.
35