Page 105 - Perspektif Agraria Kritis
P. 105

Perspektif Agraria Kritis



              perspektif  akses  dan  eksklusi.  Pada  bab  keenam  barulah
              diusulkan  kerangka  pembaruan  tata  pengurusan  agraria  di
              desa  melalui  apa  yang  disebut  dalam  bab  ini  sebagai  “Desa
              Inklusif Agraria”.

                     Setelah  membahas  dua  kasus  kebijakan  nasional,
              Bagian IV akan membahas ranah “perubahan sosial di daerah”
              yang  diwakili  oleh  satu  kasus,  yaitu  dinamika  konflik  dan
              perdamaian  di  Aceh.  Pada  bab  ketujuh  akan  ditunjukkan
              bagaimana  dinamika  keagrariaan  sangat  kental  mewarnai
              dinamika  konflik  dan  perdamaian  di  Aceh.  Sayang,  aspek
              keagrariaan ini cenderung diabaikan baik dalam upaya-upaya
              penanganan  dan  penyelesaian  konflik  maupun  proses
              perdamaian  dan  pembangunan  pasca-konflik.  Pada  bab
              kedelapan akan ditunjukkan bagaimana pengabaian aspek ini
              telah  menciptakan  kondisi  yang  memicu  perlawanan
              bersenjata kelompok Din Minimi, justru setelah perdamaian
              Aceh berlangsung selama hampir sepuluh tahun. Pada bab ini
              juga  akan  ditunjukkan  bahwa  kasus  Din  Minimi  ternyata
              bukanlah  kejadian  pertama  kali,  namun  memiliki  preseden
              sejarah pada siklus  konflik dan perdamaian di Aceh  beberapa
              dekade sebelumnya.

                     Ranah  kajian  terakhir  yang  dibahas  dalam  buku  ini
              adalah  “wacana  keagamaan”  yang  juga  akan  dibedah  dari
              “perspektif agraria kritis”. Kasus yang diangkat adalah ijtihad
              agraria Nahdlatul Ulama (NU) yang dibahas dalam Bagian V.
              Bagian  ini  juga  terdiri  atas  dua  bab.  Bab  kesembilan  akan
              membandingkan  keputusan  organisasi  NU  mengenai  land
              reform  dalam  dua  periode  yang  berbeda.  Pada  tahun  1961,
              organisasi  ini  menyatakan  keharaman  land  reform  karena
              dianggap  melanggar  hak  milik  yang  dijunjung  tinggi  dalam
              hukum  Islam.  Namun,  pada  2017,  argumen  “perlindungan
              jiwa” (dari kemiskinan akibat ketiadaan akses pada tanah) dan
              “perlindungan  hak  milik”  (dari  ketimpangan  penguasaan
              tanah)  justru  digunakan  organisasi  ini  untuk  menyatakan


                                          40
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110