Page 527 - My FlipBook
P. 527
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
pertentangan-pertentangan besar antara “Blok Barat” yang demokratis-kapitalistis
dan “Blok Timur” yang sosialistis.
Dalam pertarungan “Blok Barat” dan “Blok Timur” tersebut, Amerika
Serikat sebagai komandan “Blok Barat” tampaknya ingin menginisiasi sebuah
“deklarasi” tentang HAM yang pada hakikatnya merupakan salinan asli dari
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Bill of Right Amerika yang oleh kalangan
kaum sosialis (Blok Timur) ditafsirkan sebagai pengekspor nilai-nilai Barat (yang
bersifat individualis-kapitalistis) ke kancah internasional (Cassese 2005, 41-42).
Dari sebab adanya pertentangan antara “Blok Barat” dan “Blok Timur” di
atas, maka ada tuntutan pelaksanaan HAM di seluruh negara di dunia akan
“direalisasikan oleh masing-masing negara dalam hubungannya dengan sistem
nasionalnya” (Sassese, 2005: 46-47). Berdasar tesis ini, maka pelaksanaannya
Ham di masing-masing negara tetap dikaitkan dengan keadaulatan hkum di negara
bersangkutan.
Sekalipun HAM (Declaration of Huma Right) telah diputuskan dan diterima
sejak 10 Desember 1948, namun tetap menyisakan 2 (dua) persepsi terhadap
hakikat dan pemberlakuan HAM tersebut. Persepsi pertama adalah dari negara-
negara “Barat” (pengusungnya Inggris, Perancis dan Amerika Serikat). Barat
memiliki persepsi bahwa Ham adalah universal. Artinya, setiap bangsa, tanpa
mempersoalkan latar belakang politik dan sosial budayanya, harus melaksanakan
secara konsekuen terhadap kesepakatan penerimaan HAM (Gonggong, 1995: 24).
Persepsi kedua adalah dari negara-negara yang sedang berkembang. Persepsi
kalangan negara berkembang ini menyatakan bahwa konsepsi dan pelaksanaan
HAM tidak sepenuhnya universal. Artinya pelaksanaan HAM tidak mentah-
mentah diterapkan secara utuh tanpa mempertimbangkan pertimbangan-
pertimbangan politik dan sosial-budaya di negara-negara yang bersangkutan
(Gonggong, 1995: 24). Bahwa setiap anggota PBB, menurut persepsi kedua ini,
tetap memiliki hak prerogatif dalam menjalankan kedaulatan hukum yang
diberlakukan dalam setiap negara anggota tersebut. Tegasnya, tidak bisa
diseragamkan tanpa mempertimbangkan kedaulatan hukum yang dirumuskan
dalam setiap negara.
Demikian juga kedudukan "agama" dalam pemberlakuan HAM. Agama
harus diberi ruang otonom untuk memahami dan menjalankan isi ajaran agama
yang bersangkutan. Tidak bisa, bahkan tidak mungkin, ajaran agama yang diyakini
515