Page 302 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 302
Prof. Dr. Achmad Mochtar: Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan Perang Jepang
niat untuk menetap di Bukittinggi atau karena sekadar ingin
mendekatkan diri kepada keluarga dan kampung halaman.
Tapi waktu itu ia adalah dokter pemerintah, dan sekolahnya ke
Belanda pun atas biaya pemerintah, makanya Mochtar harus
menerima ditempatkan di masa saja. Beberapa bulan setelah
kembali dari Belanda, awal tahun 1928 Mochtar ditempatkan
sebagai kepala rumah sakit Bengkulu. Padahal waktu itu
keluarga ini sudah membeli rumah di Bukittinggi. Sebagaimana
diceritakan oleh Ali Hanafiah dalam riwayat hidupnya,
Kak Mochtar dan Hasnah membeli rumah di Bukittinggi.
Di sanalah dikumpulkan semua kemenakan untuk disekolahkan.
‘Asrama’ ini diurus oleh Kak Rafiah. Satu penyelesaian yang
kemudian terbukti baik untuk perkembangan anak-anak itu.
Kembali ke rumah “Hastarimba”. Karena rumah itu besar
dan lapang, akhirnya menjadi tempat berkumpul kerabat dan
keluarga matrilinial Mochtar atau pun Siti Hasnah. Ditemui
tim penulis di rumah kediamannya yang luas dan asri di jalan
Pejaten Barat, Jakarta Selatan awal Desember 2020, Prof. Asikin
1
Hanafiah masih mengingat kenangan tentang pamannya
Mochtar yang suka berkumpul-kumpul dengan keluarga besar.
Asikin pertama mengenal Achmad Mochtar adalah ketika
usianya menginjak lima tahun di tahun 1937. Saat itu Mochtar
baru menempati rumah Hastarimba, sementara Asikin bersama
1 Wawancara dilakukan sebanyak tiga kali, 26 September, 1 dan 13 Desember 2020.
Asikin Hanafiah adalah Guru Besar Dept. Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler
FKUI kelahiran 1932, merupakan anak bungsu dari Prof. Dr. Moh Ali Hanafiah.
Asikin punya dua kakak yang telah almarhum, yaitu Lukman Nulhakim
(meninggal 1982) dan Sri Hartati atau Tati D. Yuzar (2018).
273