Page 305 - buku 1 kak emma_merged (1)_Neat
P. 305
Hasril Chaniago, Aswil Nazir, dan Januarisdi
tinggal di salah satu paviliunnya yang punya tiga kamar.
Sementara Hanafiah masih bolak-balik Tangerang – Jakarta.
Waktu tentara Nippon mendarat di daerah Banten tanggal
2 Maret 1942, Hanafiah sedang berada di rumah Hastarimba. Ia
mendapat telepon yang memerintahkan untuk memindahkan
Rumah Sakit ke Pondok Jagung (sekarang menjadi kelurahan
di Serpong Utara, Tangerang Selatan). Sementara itu Jepang
mengambil alih rumah Hanafiah di Tangerang.
Karena keadaan belum menentu, Hanafiah memutuskan
untuk bertahan dulu di Batavia, menumpang di rumah Mochtar.
Akhirnya ia bisa menyewa rumah eks orang Belanda, di Eijkman
Park 1 yang sekarang dikenal dengan jalan Taman Kimia No.
1. Rumah ini adalah milik Yayasan Janda dari Vereniging van
Indonesische Geneeskundigen (perhimpunan dokter-dokter
Indonesia). Dengan demikian, Hanafiah sekeluarga pun pindah
ke rumah tersebut yang sekarang menjadi tempat praktek
anaknya, Asikin Hanafiah.
Setelah Mochtar tiada, tak lama pasca-Proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Siti Hasnah kembali menempati
rumah “Hastarimba”. Tentu kebahagiaan di rumah itu sudah
berbeda. Sang kepala keluarga, lelaki berwibawa yang selalu
jadi kebanggaan seluruh keluarga, telah tiada. Suasana sendu
tentu saja sering menggayuti Siti Hanah. Apalagi, sebelumnya
mereka sudah kehilangan putra sulungnya, Baharsjah Mochtar,
yang meninggal di Belanda di masa Perang Dunia II tahun
1944. Sedangkan Imsramsjah Ade Mochtar masih melanjutkan
sekolahnya di negeri bekas penjajah itu.
276