Page 8 - KTI WOLAN XII.5 ILKES 2 flip
P. 8

BAB II

                                                    KAJIAN PUSTAKA



                           A. Dominasi pada Pria

                               Gender adalah konstruksi sosial yang digunakan masyarakat untuk
                        mengatur dirinya sendiri (Cornell, 2009 sebagaimana dikutip dari Purwanti,

                        2020). Sistem pengaturan ini telah berkembang sangat lama dalam proses
                        bermasyarakat dan menjadi kebiasaan bahkan budaya yang mana suatu bentuk

                        kekuasaan tercipta di dalamnya. Kembali, Purwanti (2020) memaparkan bahwa
                        hubungan kekuasaan ini biasanya melibatkan maskulinitas versus feminitas,

                        diwakili oleh dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Dominasi pada pria,

                        atau patriarki, adalah sistem sosial dan budaya yang menempatkan pria pada
                        posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat. Sistem ini didasarkan pada

                        gagasan bahwa pria secara alami lebih kuat, cerdas, dan mampu daripada
                        perempuan. Dampak dominasi pria pada kesetaraan gender sangat luas dan

                        kompleks. Hal ini dapat menghambat kemajuan sosial dan ekonomi dalam aspek

                        membatasi potensi perempuan dan melanggar hak asasi manusia mereka. Dalam

                        aspek kemajuan sosial dan ekonomi ini dapat memiliki pengaruh pada
                        terhambatnya inovasi atau ide kreatif yang dapat dikembangkan oleh kaum

                        perempuan serta terbatasinya kebebasan perempuan dikarenakan adanya suatu
                        tindak kekerasan. Sifat dominasi pada pria yang berlebih dapat menyebabkan

                        berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan, termasuk
                        kekerasan terhadap perempuan.

                               Sikap serta sifat dominasi ini muncul karena adanya normalisasi

                        penggolongan gender dalam kehidupan sosial. Cara berpikir tersebut tertanam
                        terutama dalam diri individu seorang laki-laki sejak ia kecil. Dibentuk dan

                        terbentuknya pola pikir bahwa mereka lah yang lebih kuat, lebih pandai, lebih
                        logis, lebih memadai, lebih bertanggungjawab, dan sebagainya. Hal-hal sekecil

                        dan sesederhana tidak boleh menangis atau meluapkan emosinya berlebihan,

                        diberikan tanggungjawab atas banyak hal, dan masih banyak lagi. Perilaku ini
                        terus tumbuh di masyarakat dengan cara yang kurang tepat, dengan alibi

                        turun-temurun yaitu sebagai pembentukan karakter seorang laki-laki sebagai
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13