Page 27 - Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat
P. 27
8 Dr. Julius Sembiring, S.H., MPA.
6. Keabadian hak-hak komunitas. Masyarakat hukum
tidak punya kewenangan mutlak untuk melepaskan
hak-hak ini. 6
Mahadi – dengan mengutip van Vollenhoven –
mengatakan bahwa “hak ulayat adalah tiang kedua dari
Hukum Adat”. Enam tiang lainnya dari Hukum Adat
adalah: (1) persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen)
yang terjadinya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yakni faktor
territorial, faktor genealogis, dan faktor campuran; (3) adanya
19 (sembilan belas) wilayah hukum adat (rechtskring); (4)
perjanjian adalah perbuatan hukum konkret; (5) Hukum
Adat tidak mengenal konstruksi yuridis yang abstrak,
seperti badan hukum, kedewasaan, dan kedaluarsa; (6)
Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan pancaindera
sebagai dasar bagi penentuan kategori dan sebagai ukuran
untuk membeda-bedakan sehingga pembedaan antara right
in rem dan right in personam tidak dikenal dalam hukum
adat, yang dikenal adalah hak atas tanah dan air, dan hak
atas benda-benda lain; (7) sifat susunan keluarga terdiri dari
patrilineal, matrilineal, dan parental.
7
6 Peter Burns, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam
Jamie S. Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga
(Editor), 2010, Adat dalam Politik Indonesia, Penerbit
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, hlm.
85-86.
7 Mahadi, 1991, Uraian Singkat tentang Hukum Adat sejak RR
Tahun 1854, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 52-139.