Page 276 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria Krisis Sosial Ekologi
P. 276
Selain masyarakat sebagai subyek, tanah 11,5 ha itu
sendiri juga semestinya bisa dihargai sebagai obyek yang bisa
berubah. Pembangunan wilayah yang bertumpu pada pengem-
bangan penghidupan yang berkelanjutan melihat hubungan
subyek dan obyek tidak hanya hubungan yang searah
melainkan dua arah. Bukan hanya apa manfaat yang bisa
diberikan lahan pada masyarakat, tetapi juga apa yang bisa
diberikan masyarakat pada lahan. Upaya pengentasan kemis-
kinan yang berkaitan dengan lahan di Desa Trisobo selama
ini dimaknai dengan bagaimana lahan dimiliki dan dikelola
tapi bukan bagaimana membuat lahan sebagai bagian dari
wilayah itu sendiri bisa berkelanjutan dari segi kepemilikan
zat hara. Seringkali zat hara dimaknai hanya sebagai upaya
penghijauan yang tidak terkait dengan kemiskinan. Padahal
bagi petani penggarap, yang pada penelitian ini masuk sebagai
kategori Rumah Tangga Miskin (RTM), kehijauan tata ruang
itulah justru yang menjadi sumber penghidupan mereka
melalui bertani.
Pada kasus Desa Trisobo, pengembangan wilayah juga
dimaknai dengan kaitannya dengan tata ruang Kabupaten
Kendal yang juga beririsan dengan Bukit Semarang Baru
(BSB). Abstraksi AMDAL PT. KAL dengan Nama Doku-
men “ANDAL, RKL-RPL Regional Pembangunan Kota
Bukit Semarang Baru di Kotamadya Daerah Tingkat II
Semarang, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah” dengan
No. Persetujuan dan Tanggal Kep-10 /MENLH/05/1999:
Tanggal 25 Mei 1999, dengan penyusun PT. Saranabudi
Prakarsaripta menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan
Kota Baru “Bukit Semarang Baru” meliputi pembangunan
di atas lahan + 1000 Ha, Lokasi kegiatan berada di kecamatan
Mijen Kotamadya Dati II Semarang, Desa di Kecamatan
Mijen yang termasuk areal lahan proyek : desa Jatisari, D.
Mijen, D Jatibarang, D. Kedungpane, D Ngadirgo, D. Pesan-
tren. Berdasarkan wawancara dengan PT. KAL, luas HGB
262

