Page 99 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 NOVEMBER 2021
P. 99
Dari sisi ekonomi, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira,
menyoroti rata-rata kenaikan upah minimum provinsi 2022 yang berada di bawah proyeksi inflasi
nasional 2022. Inflasi sebelumnya diperkirakan berada di atas 3-4 persen.
"Ini efeknya berarti daya beli kelas menengah dan pekerja rentan bisa tergerus inflasi," ujar
Bhima. Apabila itu terjadi, pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga pun akan terhambat.
Upah minimum, kata Bhima, seharusnya naik di atas inflasi plus pertumbuhan ekonomi agar
masyarakat memiliki uang lebih untuk dibelanjakan. Kalau itu dilakukan, pada ujungnya pun
pengusaha akan diuntungkan.
"Kalau naiknya cuma 1 persen, konsumsi masyarakat akan terpengaruh. Apalagi tahun depan
ada penyesuaian PPN naik dari 10 jadi 11 persen. Kebijakan perpajakan juga kan tidak
mengakomodasi kepentingan pekerja," tutur Bhima.
Merespons berbagai kritik soal upah minimum itu, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional
(Dapenas), Adi Mahfudz, mengatakan penetapan upah minimum itu sudah tepat sesuai dengan
regulasi, yaitu Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021. Di
samping itu, Dapenas telah menyarankan bahwa penetapan itu dilakukan dengan berbasiskan
data statistik dari Badan Pusat Statistik.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri alias Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan
itu juga mengatakan angka rata-rata kenaikan upah minimum 1,09 persen itu hanya proyeksi.
Patokan bagi dunia usaha nantinya adalah penetapan upah minimum di setiap daerah yang
memperhitungkan pertumbuhan ekonomi maupun inflasi di wilayah tersebut.
Ia pun meyakini bahwa dengan formula yang ada, penghasilan pekerja tidak akan tergerus inflasi
seperti kekhawatiran ekonom.
"Tidak, justru yang dipakai menghitung adalah pertumbuhan ekonomi atau inflasi mana yang
paling tinggi," ujar dia. "Jadi bukan tergerus atau diminim-minimkan tidak. Tidak boleh
direkayasa, itu berdasarkan data dari BPS."
Adi juga membantah kekhawatiran bisa turunnya upah minimum di suatu wilayah lantaran
adanya formula batas atas dan batas bawah dalam PP 36 Tahun 2021. Pasalnya, berdasarkan
regulasi, upah minimum yang ditetapkan tidak boleh lebih rendah dari upah yang berlaku saat
ini.
"Ada beberapa provinsi yang tidak naik karena pertumbuhan ekonomi atau inflasinya minus.
Artinya, boleh menetapkan upah minimum yang saat ini diterima, bukan mengambil batas
bawah. Jadi dalam rentang batas atas dan bawah tapi tidak boleh lebih rendah dari yang diterima
saat ini," kata Adi. Ia pun memastikan dunia usaha akan mengikuti regulasi yang berlaku.
Soal polemik yang terjadi terkait penetapan upah minimum, Direktur Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah
Anggoro Putri mengatakan pemerintah sejak terbitnya PP 36 Tahun 2021 di awal tahun ini sudah
menjalin dialog dengan serikat pekerja dan pengusaha.
Selain itu, saat akan menetapkan upah minimum pada Oktober dan November 2021, Dewan
Pengupahan Nasional telah dilibatkan. Dewan ini terdiri dari perwakilan serikat pekerja,
pengusaha, pemerintah, dan pakar. Sehingga, seharusnya dialog dan komunikasi mengenai
formula dan proses penetapan upah telah terjalin di sana, serta di Dewan Pengupahan Daerah.
"Tapi setelah diumumkan rata-rata nasional 1,09 persen ada respons dari serikat pekerja.
Respons saya adalah itu rata-rata nasional lho, bukan masing-masing daerah segitu. Mungkin
98

