Page 90 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 FEBRUARI 2020
P. 90
Pekerja outsourcing tidak mendapatkan pesangon. Bahkan bisa dibayar per jam
(satuan waktu) yang mengakibatkan upah yang diterima di bawah upah minimum.
Dampak yang lain, outsourcing tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan
pensiun akibat hanya dipekerjakan beberapa jam.
6. Jam Kerja yang Eksploitatif
Dia mengatakan, di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja adalah 40
jam seminggu. Hal tersebut, kata dia, menyebabkan pengusaha bisa mengatur
seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu
kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari
kerja. "Lalu buat apa ada negara kalau tidak melindungi rakyatnya,. Ini tak ubahnya
seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif," ujarnya.
Karena, kata dia, bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari
selama empat hari kerja tanpa dibayar upah lembur, seperti kerja rodi dan bersifat
eksploitatif. "Berarti tidak ada perlindungan negara terhadap rakyat dan buruh
Indonesia. Dengan RUU Cipta Kerja ini akan terjadi situasi waktu/jam kerja yang
eksploitatif, upah murah, outsourcing dan karyawan kontrak seumur hidup, serta
mudah di-PHK tanpa pesangon," imbuhnya.
Selain itu, kata dia, lembur bisa dilakukan lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya
boleh maksimal 14 jam, dalam RUU Cipta Kerja menjadi 18 jam. Akibatnya buruh
akan kelelahan dan rentan terjadi kecelakaan kerja.
Bahkan, hari libur yang biasanya dua hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja
dibuat hanya satu hari. Dia mengatakan, hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti
besar atau istirahat panjang selama 2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun
dihilangkan. "RUU Cipta Kerja benar-benar membuat kaum buruh tertindas. Seolah
olah negara ini hanya melindungi kepentingan pengusaha saja atas nama investasi.
Apakah negara ini hanya milik pemilik modal?" kata Iqbal.
7. TKA Buruh Kasar Unskill Worker Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia
Dia menuturkan, hal tersebut terlihat dari dihapuskannya izin tertulis dari Menteri
bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia. Selain itu, kata
dia, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan dibebaskan, bahkan tanpa perlu
membuat rencana penggunaan TKA. Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh
kasar bisa masuk ke Indonesia dengan mudah tanpa terdeteksi.
Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan demikian, TKA
tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia. Dampaknya, transfer of job dan transfer
of knowledge sulit untuk dilakukan.
Jika dalam UU 13/2003 setiap TKA berkewajiban melakukan pendidikan dan
pelatihan dalam rangka transfer of job dan knowledge terkecuali untuk direksi dan
komisaris, dalam RUU Cipta Kerja pengecualian juga berlaku bagi TKA dengan
Page 89 of 185.