Page 160 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 160
Ambil contoh sederhananya, pengaturan tentang rumus upah minimum yang telah diatur pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan kemudian
dipindahkan ke RUU Cipta Kerja. Demikian juga perihal pengusaha menyusun struktur dan skala upah
di perusahaan yang telah diatur sebelumnya.
Termasuk penyisipan aturan bahwa selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan kewajibannya. Sebuah hal yang sebenarnya juga
telah ada sejak lama.
Contoh lainnya dari "daur ulang" pasal atau puzzle pasal adalah beberapa pasal hanya dipindah begitu
saja, misalkan tentang pekerja asing. Termasuk aturan bagi pekerja asing dilarang menduduki
personalia pada Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini masih berlaku
hanya dipindahkan posisinya di rancangan RUU Cipta Lapangan Kerja.
Bahkan untuk pengaturan strategis seperti perjanjian kerja waktu tertentu seolah hanya perlu sedikit
"tambal sulam" dengan kalimat berdasarkan kesepakatan para pihak. Bagai kehabisan ide dan
mungkin keterbatasan waktu penyusunan, dengan ringan disebutkan akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Adanya begitu banyak pasal yang menyebutkan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan lainnya
membuat RUU Cipta Lapangan Kerja ini akan sangat rawan menurunkan "anak cucu" ketentuan
peraturan perundang-undangan di masa mendatang. Niatan awal penyederhanaan aturan pada
akhirnya menjadi kehilangan makna.
Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang begitu banyak aturan yang telah ada ditulis ulang
sehingga mungkin akan membuat pembaca bosan mengingat memang begitu banyaknya pasal yang
pengulangan atau berasal dari pijakan kerangka berpikir yang sama.
Pembahasan selanjutnya mungkin lebih baik adalah perihal kelebihan dari aturan yang hendak diatur
pada RUU Cipta Lapangan Kerja. Sesuatu hal yang baru. Inovasi aturan.
Hal Positif Saya mencermati setidaknya ada beberapa hal positif yang bisa langsung diterima oleh
pekerja, terutama dalam masalah upah, yaitu seperti kewajiban pengusaha memberikan uang
kompensasi kepada pekerja dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir.
Selain itu adanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan merupakan sebuah ide luar biasa yang patut
diapresiasi sehingga pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja masih terjamin
kehidupannya.
Semua hal positif ini seolah menjadi "bonus" selain mendapatkan ketentuan uang pesangon dan/atau
penghargaan masa kerja.
Kemanfaatan dan perlindungan seperti hal positif di atas seharusnya dapat diperbanyak jika
pemerintah pada saat penyusunannya lebih berani lagi melakukan penjelajahan pokok-pokok masalah
kekosongan hukum ketenagakerjaan atau melakukan kodifikasi masalah ketenagakerjaan di Indonesia
jauh hari sebelum ada ide menyusun rancangan perundangan baru.
Pengaturan mutasi atau demosi, misalnya, yang saat ini kosong tentunya dapat diatur lebih jauh
sehingga membawa kemanfaatan. Atau aturan penahan ijazah yang seringkali merugikan pekerja
baru.
Tentunya memang tidak mungkin segalanya kekosongan hukum tersebut diatur dan itulah sebabnya
ada aturan yang menyatakan bahwa syarat kerja dapat diatur sendiri di antara pengusaha dan pekerja
melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.