Page 161 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 DESEMBER 2020
P. 161
UU No. 18 Tahun 2017 memuat perlindungan pekerja migran, yang menjamin pemenuhan dan
penegakan hak asasi manusia, sekaligus perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial buruh migran
Indonesia dan keluarganya.
Belajar dari Desa Bringinan Kendati di tingkat daerah belum ada payung hukumnya, justru di
tingkat desa ada yang menerapkan peraturan khusus melindungi buruh migran. Desa ini
bernama Bringinan, sekitar dua puluh menit berkendara dari pusat Kota Ponorogo. Perdes Nomor
6 Tahun 2019 ini berisi 21 pasal, yang mengatur pelayanan administrasi di tingkat desa kepada
calon pekerja migran dan perlindungan pekerja migran asal Desa Bringinan.
Sampai saat ini, Bringinan menjadi satu-satunya desa di Ponorogo yang memiliki peraturan desa
tentang perlindungan pekerja migran.
Mayoritas warga Bringinan bekerja sebagai buruh tani, selain buruh migran. Ada yang sudah
ngaso, ada yang masih bekerja di luar negeri. Hitungan "sukses" bagi mereka adalah bisa
memperbaiki rumah. Rumah-rumah mereka dibangun dengan gaya modern, berlantai keramik,
dan tembok dicat warna cerah.
Kepala Desa Bringinan, Barno, yang eks buruh migran, bercerita kepada saya bahwa Perdes
Perlindungan Pekerja Migran ini tak cuma bertujuan melindungi tapi juga memastikan siapa saja
dan berapa warga desa yang bekerja ke luar negeri.
Barno mengisahkan masa lalunya yang menjadi calo dari sistem perdagangan orang.
Ia kerap pergi ke Malaysia untuk mengantarkan ratusan calon pekerja migran tanpa dokumen
resmi. Ratusan orang itu kemudian dipekerjakan di lokasi-lokasi hiburan hingga perkebunan. Ia
melakukannya sejak 2000, lalu berhenti pada 2009 saat kesehatannya memburuk dan terlilit
utang, juga saat orang terdekatnya justru menjadi korban trafficking. Mengakhiri
petualangannya. Ia kembali ke desanya. Pada 2013, ia terpilih menjadi kepala desa sampai
sekarang.
Barno mengamati ada ratusan warga desa yang pergi ke Malaysia masih tanpa dokumen resmi.
Dari situ, ia membuat perdes yang mengatur wewenang desa. Pada 2018, didampingi oleh
lembaga nirlaba bernama LSM Infest yang peduli masalah-masalah pekerja migran, mulailah
pembahasan mengenai Perdes Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Salah satu fokus yang diatur adalah jumlah pekerja migran di desa itu," ujar Ridwan Wahyudi,
Manajer Program Pusat Sumber Daya Buruh Migran Infest, kepada saya di Yogyakarta,
November 2020.
Perdes itu misalnya mencatat negara tujuan calon pekerja migran, termasuk perusahaan atau
agen yang merekrut mereka.
Bila dulu warga tinggal datang ke lurah dan minta stempel tanda tangan, "tetapi, setelah ada
perdes itu, perwakilan perusahaan yang akan memberangkatkan pekerja migran juga wajib
datang ke Bringinan," terang Barno. Mendata agen perusahaan TKI ini juga memudahkan pihak
desa menuntut tanggung jawab bila ada warga desa yang bernasib buruk di negara tujuannya.
Sampai Agustus 2020, ada 100-an warga Bringinan yang tercatat sebagai buruh migran.
Menurut Barno, perdes itu bukan untuk membatasi tekad warga Bringinan memperbaiki
ekonominya dengan bekerja ke luar negeri, tetapi demi mencegah mereka dari sindikat
perdagangan orang.
"Memang masih terbatas yang kita lakukan," kata Barno. "Kita belum bisa melakukan perjanjian
dengan negara tujuan buruh migran, dengan majikan, tapi paling tidak desa sudah bisa
160

